Sunday, November 13, 2016

All I Want is You

You say you want
Diamonds on a ring of gold
You say you want
Your story to remain untold

But all the promises we make
From the cradle to the grave
When all I want is you

You say you'll give me
A highway with no one on it
Treasure just to look upon it
All the riches in the night

You say you'll give me
Eyes in a moon of blindness
A river in a time of dryness
A harbor in the tempest

But all the promises we make
From the cradle to the grave
When all I want is you

You say you want
Your love to work out right
To last with me through the night

You say you want
Diamonds on a ring of gold
Your story to remain untold
Your love not to grow cold

All the promises we break
From the cradle to the grave
When all I want is you
All I want is You
All I want is You
All I want is You
You

(All I want is You/ U2)


Saturday, November 12, 2016

Bukan Kisah Putri Dongeng: Cukup, Aku Ingin Pulang.

Bukan Kisah Putri Dongeng: Cukup, Aku Ingin Pulang.: Bunyi detak pada jam dinding, mengarahkan mataku untuk memperhatikannya. Sudah pukul lima sore tapi pekerjaanku tak kunjung selesai. Hampa...

Thursday, November 10, 2016

Pandangan Makro

Umat Islam menghadapi isu yang berkembang luar biasa hari-hari ini. Semua orang yang kutemui membahasnya. Apa daya.. aku pun ikut membahasnya. Sok menganalisis. Anggap saja itu semua sebagai proses belajar. Belajar mengerti apa yang terjadi. Memahami sebab dan akibat di balik semua itu. Dan yang paling penting memetik hikmah yang ada.

Kejadian (Aksi Damai 411) yang terjadi beberapa hari yang lalu – tidak bisa dipungkiri – akan ditulis oleh sejarah. Akan banyak yang menceritakan ulang apa yang terjadi kepada generasi yang akan datang. Terutama bagi generasi yang lahir di tahun 90’an. Satu generasi yang telah dan bisa ikut terjun dan menjadi bagian peristiwa besar ini. Dan sebagai generasi yang baru dan telah bisa memahami, mereka harus benar-benar mengambil pelajaran yang bisa diterapkan dan dimanfaatkan untuk masa depan. Karena pemangku kebijakan di masa depan adalah tangan-tangan mereka. Pun yang akan mengkomando gerakan-gerakan serupa adalah juga akan di tangan mereka.

Apalagi ditambahkan dengan yang terjadi kemarin, di negeri nun jauh di sana, Amerika Serikat sebentar lagi akan dipimpin Presiden baru yang katanya orangnya agak gimana gitu. Setiap orang yang memiliki prospek dan pandangaan makro serta didukung dengan konsumsi informasi yang luas, ketika yang melihat itu semua – dengan kacamata masing-masing - , diharapkan tidak hanya menganggapnya sebagai lading penunjukan eksistensi diri, tapi juga harus menjadikannya bekal terhadap apa yang dihadapi di masa yang akan datang.

Dan demikianlah kehidupan manusia, oleh sebab itu Sang Khaliq terus memandu hamba-hambanya. Panduan yang tidak akan lekang.

Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ [الحشر: 18]

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Hasyr: 18)

Allah Tuhan semesta alam telah menyeru kepada ciptaanNya yang tulus mengakui eksistensinya - orang-orang yang beriman - untuk memiliki suatu prospek. Prospek atau rencana untuk hari esok. Tidak hanya itu, Ia dengan sangat baik telah memberitahukan bahwa apa yang terjadi untuk hari esok/ masa depan memiliki keterkaitan dengan apa yang telah dan sedang terjadi. Apa yang terjadi dari perbatan tiap individu seorang Mu’min tersebut atau apa yang terjadi di alam luas sekitarnya. Kejadian dan isu-isu yang berkembang dan yang telah manjadi bagian dari kehidupan si Mu’min termasuk di antaranya. Dan jika setiap Mu’min mengerti dan menyadari seruan yang sangat baik ini, akan tercipta kesadaran kolektif, dan diujung akan membentuk satu umat terbaik.

Dan itu tidak mudah, oleh sebab itu jawaban atas seruan ini harus selalu diawali dan diakhiri dengan ketakwaan. Suatu kepatuhan tanpa batas atas segala tuntutan ilahiyah. Dengan begitu Allah subahanahu wa ta’ala akan memantau pandangan makro tiap hambanya karena Ia Maha Mengetahui apa yang kita kerjakan. Ia akan membenarkan yang salah, meluruskan yang rancu. Dan diakhir Ia akan mengiringi langkah-langkah kecil yang ditempuh umatNya.


Wednesday, November 9, 2016

Kelabu-Kelabu Yang Menakuti

Dari siang sampai maghrib hujan tidak berhenti. Tahu sendirilah bagaimana suasana hati ketika hujan di sore hari? Ada semacam warna kelabu menggantung. Menggantung entah di mana, tetapi kelabu itu ada di sini, di kepala, di mata, dan di hati.

Kucoba untuk mencerahkan diri. Tidak ada yang mendukung. Ataukah niatku yang kurang kuat? Kelabu it terus mengawang. Seperti raksasa yang membayangi. Tidak bisa bebas dan tidak bisa keluar dari cengkeramannya.

Aku ingin keluar dari kegelapan ini. Merasakan bentangan cahaya terang. Kehangatan dalam kehangatan. Keceriaan dalam senyuman cerah. Kerlap-kerlip gemintang mendendangkan cerita. Hanya saja.. suara hujan itu mengungkung mereka semua. Pendengaranku penuh dengan suara rintihan yang tidak tampak.

Tapi aku tidak sedih. Sepertinya perasaan itu sudah lama tak ada di sini. Mungkin karena hati ini tidak bertuan sehingga bentuk dan rupanya seperti rumah kosong. Sepi dan kotor.

Hmm.. gemericik gerimis masih terdengar dan terasa. Andaikan rumah kosong ini kecipratan airnya, aku yakin satu, dua debu di sana akan meleleh.

Metaforaku terlalu jauh.

Tapi benar..

Ketika kepala ini kutengadahkan ke langit. Tetesan-tetesan dari langit itu sedikittnya bisa meluluhkan kelabu-kelabu gelap yang menggeluyuti. Pikiranku langsung terbawa pada jutaan orang yang tidak dapat tempat berlindung dalam keadaan seperti ini. Tiada tempat berteduh dari hujan. Tiada sarana menghangatkan diri ketika dingin. Tidak tempat bernaung. Oleh sebab itu.. aku harus bersyukur.

Aku adalah satu dari sekian banyak penerima kenikmatan. Aku adalah satu dari sekian banyak yang selamat dari kesengsaraan. Aku adalah keberuntungan. Namun begitu.. aku hanyalah hamba yang bodoh yang terus lupa.

Maka..

Biarkan hitam itu bergelayut. Kelabu-kelabu yang membayangi dan menakuti. Raksasa yang mengangkangi. Biarkan itu semua.. aku hanya ingin melangkah dan tersenyum berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa.

Sumber gambar: http://pre02.deviantart.net/



Wednesday, October 12, 2016

Di Perpustakaan 2

Cerita sebelumnya di sini

Sudah tiga hari kami mengejar target program-program yang tersusun dalam agenda perombakan perpustakaan ini. Kali ini bukan program-program kecil seperti pengadakan buku baru. atau lainnya. tapi benar-benar perombakan. Yang tadinya perpustakaan ini tergolong kecil dengan standard pas akan berubah menjadi perpustakaan besar dan di atas standard. Tepatnya perluasan dari yang  hanya menempati lantai dua itupun tidak seluruhnya, menjadi tiga lantai penuh. Pada intinya satu gedung ini menjadi gedung perpustakaan.

Tiga tahun bekerja di sini, baru inilah tanda positif yang kudapatkan. Berarti penyediaan informasi ilmiah benar-benar mendapat dukungan dan perhatian serius dari instansi ini. Dan memang seharusnya seperti itu, karena tempat ini adalah perguruan tinggi. Meskipun swasta dan tidak terlalu besar, perpustakaan adalah elemen penting dalam dunia perguruan tinggi.

Aku sedikit bingung ketika Pak Sujono memberitahukan hal ini secara langsung kepadaku di kantornya. Padahal berita ini bisa saja disampaikan oleh Bu Andini atau Pak Romeo atau kalau bisa Dewi atau siapa saja. Beliau berbicara denganku empat mata mengenai program-program yang terencana. Bahkan memberi tahu beberapa kebijakan yang akan diambil setelah perluasan ini selesai.

Pekerjaanku untuk siang ini telah selesai. Kulihat ruangan sebelah Pak Angga masih terlihat sibuk dengan komputer mejanya. Bagian sistem dan data pasti sangat sibuk menyiapkan program baru untuk system katalogisasi buku. Itulah yang kudengar. Perpustakaan bertambar besar, sistemnya pun harus lebih besar, atau tepatnya lebih accessible.

Kulihat Dewi yang hanya tampak kerudung merahnya juga sepertinya masih terpekur dengan pekerjaannya. Padahal sebentar lagi waktu menunjukkan ishoma. Sampai saat ini aku masih menunggu kesempatan untuk mengenal Dewi lebih dalam. Dan kupikir satu-satunya kesempatanku mendekatinya adalah saat-saat makan siang. Dan sepertinya kali ini aku harus nekad lagi.

“Andi, kamu dipanggil Pak Angga!” Bu Andini memberitahuku.

“Sekarang?” Jawabku heran, padahal sebentar lagi waktunya rehat.

“Iya.. cepat sana! Katanya penting!” Jawab Bu Andini sambil berdiri mengangkat tumpukan buku.

Aku memasuki bagian ruangan system dan data. Dewi yang sedang duduk mendongak melihatku masuk. Aku hanya tersenyum kepadanya. Dan seketika itu Pak Angga langsung memanggil namaku. Aku langsung berjalan ke mejanya yang hanya berjarak dua meja dari meja Dewi.

“Andi.. kamu isikan kolom-kolom ini sesuai dengan nama-nama klasifikasi buku beserta nomor-nomornya. Pakai komputer ini saja!” Pak Angga berdiri dan mempersilahkanku untuk duduk di tempatnya.

“Sekarang Pak?” Aku masih ragu, karena ku kira waktunya tidak pas.

“Iya, besok ini sudah akan dilihat oleh Pak Kepolo” Yang dia maksudkan adalah Pak Sujono Kepala Perpustakaan ini.

“Oke” Aku mengiyakan, sementara  hatiku berkata 'apa boleh buat'. Perut sudah terasa keroncongan. Pagi tadi hanya sarapan sedikit. Tapi karena ini adalah bagian dari pekerjaan yang sudah kukomitmenkan, maka aku harus menjalankannya.

Kumulai pengisian kolom-kolom yang ditugaskan dengan harapan lebih cepat selesai. Beberapa menit berselang baru kusadari ternyata ini adalah sistem katalogisasi buku yang baru. Sistem baru yang katanya open source, berarti program ini nanti bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Tetapi di sisi lain berarti penginputan data buku harus dimulai lagi dari awal. Kecuali kalau telah ada back up data dari system yang lama yang bisa diimport ke sistem yang baru ini. Kepalaku sedikit ngilu memikirkan beratnya pekerjaan jika harus menginput ulang lagi seluruh data buku.

Tak kusadari Pak Angga telah meninggalkan ruangan. Beberapa staff yang lain juga telah pergi. Tapi tidak jauh dariku, si kerudung merah ini masih tak beranjak. Masih duduk sibuk dengan mouse di tangan.
Baru terpikir olehku kalau ini adalah suatu kesempatan. Kesempatan yang telah kutunggu-tunggu. Kulirik dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kaca mata. Kemudian dia mengambil satu buku di samping monitor komputernya. Dia baca buku tersebut.

“Dewi.. baca buku apa?” kupaksaan memulai percakapan. Percakapan yang tidak lagi berkaitan dengan acara makan siang seperti beberapa hari yang lalu yang gagal total. Kulihat wajahnya yang sedikit berbeda karena baru kali ini aku melihatnya memakai kaca mata.

“Buku tentang antropolgi mas” Dia menjawab sambil tersenyum.

Aku hanya manggut-manggut. Ingin membuka sedikit diskusi, tapi aku sama sekali tidak mengerti masalah antropologi. Dan sekali lagi, aku harus diam menanggapi jawabannya atas pertanyaanku.

“Mas Andi sudah berapa lama di sini?” Aku terkejut Dewi bertanya kepadaku.

“Mmm... kurang lebih tiga tahun” Kucoba untuk menjawab dengan tenang.

“Pasti sudah banyak sekali buku yang telah dibaca...” Satu perkataan yang seperti menyeterum keningku. Karena kuhitung-hitung ternyata buku yang benar-benar kubaca sampai selesai selama di perpustakaan ini tidak lebih dari jumlah jemari di satu tangan.

“Dewi sendiri sudah habis berapa buku?” tanyaku balik penasaran.

“Target sih tiga hari satu buku, tapi kadang jadi seminggu karena malas. Jadi mungkin sekitar baru tujuh buku.” Jawabnya pelan merendahkan diri.

Aku terdiam merenungi perkataannya. Renungan yang memundurkan beberapa langkahku. Karena dia telah berada di tempat yang jauh dan lebih tinggi dariku saat ini.

Sumber gambar: http://www.mirajnews.com
Bersambung
Sudah tiga hari kami mengejar target program-program yang tersusun dalam agenda perombakan perpustakaan ini. Kali ini bukan program-program kecil seperti pengadakan buku baru. Tapi benar-benar perombakan. Yang tadinya perpustakaan ini tergolong kecil dengan standard pas akan berubah menjadi perpustakaan besar dan di atas standard. Tepatnya perluasan dari yang tadinya hanya menempati lantai dua itupun tidak seluruhnya, menjadi tiga lantai penuh. Pada intinya satu gedung ini menjadi gedung perpustakaan. Tiga tahun bekerja di sini, baru inilah tanda positif yang kudapatkan. Berarti penyediaan informasi ilmiah benar-benar mendapat dukungan dan perhatian serius dari instansi ini. Dan memang seharusnya seperti itu, karena tempat ini adalah perguruan tinggi. Meskipun swasta dan tidak terlalu besar, perpustakaan adalah elemen penting dalam dunia perguruan tinggi. Aku sedikit bingung ketika Pak Sujono memberitahukan hal ini secara langsung kepadaku di kantornya. Padahal berita ini bisa saja disampaikan oleh Bu Andini atau Pak Romeo atau kalau bisa Dewi atau siapa saja. Beliau berbicara denganku empat mata mengenai program-program yang terencana. Bahkan memberi tahu beberapa kebijakan yang akan diambil setelah perluasan ini selesai. Pekerjaanku untuk siang ini telah selesai. Kulihat ruangan sebelah Pak Angga masih terlihat sibuk dengan komputer mejanya. Bagian sistem dan data pasti sangat sibuk menyiapkan program baru untuk system katalogisasi buku. Itulah yang kudengar. Perpustakaan bertambar besar, sistemnya pun harus lebih besar, atau tepatnya lebih accessible. Kulihat Dewi yang hanya tampak kerudung merahnya juga sepertinya masih terpekur dengan pekerjaannya. Padahal sebentar lagi waktu menunjukkan Ishoma. Sampai saat ini aku masih menunggu kesempatan untuk mengenal Dewi lebih dalam. Dan kupikir satu-satunya kesempatanku mendekatinya adalah saat-saat makan siang. Dan sepertinya kali ini aku harus nekad lagi. “Andi, kamu dipanggil Pak Angga!” Bu Andini memberitahuku. “Sekarang?” Jawabku heran, padahal sebentar lagi waktunya rehat. “Iya.. cepat sana! Katanya penting!” Jawab Bu Andini sambil berdiri mengangkat tumpukan buku. Aku memasuki bagian ruangan system dan data. Dewi yang sedang duduk mendongak melihatku masuk. Aku hanya tersenyum kepadanya. Dan seketika itu Pak Angga langsung memanggil namaku. Aku langsung berjalan ke mejanya yang hanya berjarak dua meja dari meja Dewi. “Andi.. kamu isikan kolom-kolom ini sesuai dengan nama-nama klasifikasi buku beserta nomor-nomornya. Pakai komputer ini saja!” Pak Angga berdiri dan mempersilahkanku untuk duduk di tempatnya. “Sekarang Pak?” Aku masih ragu, karena ku kira waktunya tidak pas. “Iya, Besok ini sudah akan dilihat oleh Pak Kepolo” Yang dia maksudkan adalah Pak Sujono Kepala Perpustakaan ini. “Oke” Aku mengiyakan, sementara dalam hatiku berkata apa boleh buat. Perut sudah terasa keroncongan. Pagi tadi hanya sarapan sedikit. Tapi karena ini adalah bagian dari pekerjaan yang sudah kukomitmenkan, maka aku harus menjalankannya. Kumulai pengisian kolom-kolom yang ditugaskan dengan harapan lebih cepat selesai. Beberapa menit berselang baru kusadari ternyata ini adalah sistem katalogisasi buku yang baru. Sistem baru yang katanya open source, berarti program ini nanti bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Tetapi di sisi lain berarti penginputan data buku harus dimulai lagi dari awal. Kecuali kalau telah ada back up data dari system yang lama yang bisa diimport ke sistem yang baru ini. Kepalaku sedikit ngilu memikirkan beratnya pekerjaan jika harus menginput ulang lagi seluruh data buku. Tak kusadari Pak Angga telah meninggalkan ruangan. Beberapa staff yang lain juga telah pergi. Tapi tidak jauh dariku, si kerudung merah ini masih tak beranjak. Masih duduk sibuk dengan mouse di tangan. Baru terpikir olehku kalau ini adalah suatu kesempatan. Kesempatan yang telah kutunggu-tunggu. Kulirik dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kaca mata. Kemudian dia mengambil satu buku di samping monitor komputernya. Dia baca buku tersebut. “Dewi.. baca buku apa?” kupaksaan memulai percakapan. Percakapan yang tidak lagi berkaitan dengan acara makan siang seperti beberapa hari yang lalu yang gagal total. Kulihat wajahnya yang sedikit berbeda karena baru kali ini aku melihatnya memakai kaca mata. “Buku tentang antropolgi mas” Dia menjawab sambil tersenyum. Aku hanya manggut-manggut. Ingin membuka sedikit diskusi, tapi aku sama sekali tidak mengerti masalah antropologi. Dan sekali lagi, aku harus diam menanggapi jawabannya atas pertanyaanku. “Mas Andi sudah berapa lama di sini?” Aku terkejut Dewi bertanya kepadaku. “Mmm... kurang lebih tiga tahun” Kucoba untuk menjawab dengan tenang. “Pasti sudah banyak sekali buku yang telah dibaca..” Satu perkataan yang seperti menyeterum keningku. Karena kuhitung-hitung ternyata buku yang benar-benar kubaca sampai selesai selama di perpustakaan ini tidak lebih dari jumlah jemari di satu tangan. “Dewi sendiri sudah habis berapa buku?” tanyaku balik penasaran. “Target sih tiga hari satu buku, tapi kadang jadi seminggu karena malas. Jadi mungkin sekitar baru tujuh buku.” Jawabnya pelan merendahkan diri. Aku terdiam merenungi perkataannya. Renungan yang memundurkan beberapa langkahku. Karena dia telah berada di tempat yang jauh dan lebih tinggi dariku saat ini.

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/terimakasih/di-perpustakaan-2_56c57fedce92737d06de614e
Sudah tiga hari kami mengejar target program-program yang tersusun dalam agenda perombakan perpustakaan ini. Kali ini bukan program-program kecil seperti pengadakan buku baru. Tapi benar-benar perombakan. Yang tadinya perpustakaan ini tergolong kecil dengan standard pas akan berubah menjadi perpustakaan besar dan di atas standard. Tepatnya perluasan dari yang tadinya hanya menempati lantai dua itupun tidak seluruhnya, menjadi tiga lantai penuh. Pada intinya satu gedung ini menjadi gedung perpustakaan. Tiga tahun bekerja di sini, baru inilah tanda positif yang kudapatkan. Berarti penyediaan informasi ilmiah benar-benar mendapat dukungan dan perhatian serius dari instansi ini. Dan memang seharusnya seperti itu, karena tempat ini adalah perguruan tinggi. Meskipun swasta dan tidak terlalu besar, perpustakaan adalah elemen penting dalam dunia perguruan tinggi. Aku sedikit bingung ketika Pak Sujono memberitahukan hal ini secara langsung kepadaku di kantornya. Padahal berita ini bisa saja disampaikan oleh Bu Andini atau Pak Romeo atau kalau bisa Dewi atau siapa saja. Beliau berbicara denganku empat mata mengenai program-program yang terencana. Bahkan memberi tahu beberapa kebijakan yang akan diambil setelah perluasan ini selesai. Pekerjaanku untuk siang ini telah selesai. Kulihat ruangan sebelah Pak Angga masih terlihat sibuk dengan komputer mejanya. Bagian sistem dan data pasti sangat sibuk menyiapkan program baru untuk system katalogisasi buku. Itulah yang kudengar. Perpustakaan bertambar besar, sistemnya pun harus lebih besar, atau tepatnya lebih accessible. Kulihat Dewi yang hanya tampak kerudung merahnya juga sepertinya masih terpekur dengan pekerjaannya. Padahal sebentar lagi waktu menunjukkan Ishoma. Sampai saat ini aku masih menunggu kesempatan untuk mengenal Dewi lebih dalam. Dan kupikir satu-satunya kesempatanku mendekatinya adalah saat-saat makan siang. Dan sepertinya kali ini aku harus nekad lagi. “Andi, kamu dipanggil Pak Angga!” Bu Andini memberitahuku. “Sekarang?” Jawabku heran, padahal sebentar lagi waktunya rehat. “Iya.. cepat sana! Katanya penting!” Jawab Bu Andini sambil berdiri mengangkat tumpukan buku. Aku memasuki bagian ruangan system dan data. Dewi yang sedang duduk mendongak melihatku masuk. Aku hanya tersenyum kepadanya. Dan seketika itu Pak Angga langsung memanggil namaku. Aku langsung berjalan ke mejanya yang hanya berjarak dua meja dari meja Dewi. “Andi.. kamu isikan kolom-kolom ini sesuai dengan nama-nama klasifikasi buku beserta nomor-nomornya. Pakai komputer ini saja!” Pak Angga berdiri dan mempersilahkanku untuk duduk di tempatnya. “Sekarang Pak?” Aku masih ragu, karena ku kira waktunya tidak pas. “Iya, Besok ini sudah akan dilihat oleh Pak Kepolo” Yang dia maksudkan adalah Pak Sujono Kepala Perpustakaan ini. “Oke” Aku mengiyakan, sementara dalam hatiku berkata apa boleh buat. Perut sudah terasa keroncongan. Pagi tadi hanya sarapan sedikit. Tapi karena ini adalah bagian dari pekerjaan yang sudah kukomitmenkan, maka aku harus menjalankannya. Kumulai pengisian kolom-kolom yang ditugaskan dengan harapan lebih cepat selesai. Beberapa menit berselang baru kusadari ternyata ini adalah sistem katalogisasi buku yang baru. Sistem baru yang katanya open source, berarti program ini nanti bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Tetapi di sisi lain berarti penginputan data buku harus dimulai lagi dari awal. Kecuali kalau telah ada back up data dari system yang lama yang bisa diimport ke sistem yang baru ini. Kepalaku sedikit ngilu memikirkan beratnya pekerjaan jika harus menginput ulang lagi seluruh data buku. Tak kusadari Pak Angga telah meninggalkan ruangan. Beberapa staff yang lain juga telah pergi. Tapi tidak jauh dariku, si kerudung merah ini masih tak beranjak. Masih duduk sibuk dengan mouse di tangan. Baru terpikir olehku kalau ini adalah suatu kesempatan. Kesempatan yang telah kutunggu-tunggu. Kulirik dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kaca mata. Kemudian dia mengambil satu buku di samping monitor komputernya. Dia baca buku tersebut. “Dewi.. baca buku apa?” kupaksaan memulai percakapan. Percakapan yang tidak lagi berkaitan dengan acara makan siang seperti beberapa hari yang lalu yang gagal total. Kulihat wajahnya yang sedikit berbeda karena baru kali ini aku melihatnya memakai kaca mata. “Buku tentang antropolgi mas” Dia menjawab sambil tersenyum. Aku hanya manggut-manggut. Ingin membuka sedikit diskusi, tapi aku sama sekali tidak mengerti masalah antropologi. Dan sekali lagi, aku harus diam menanggapi jawabannya atas pertanyaanku. “Mas Andi sudah berapa lama di sini?” Aku terkejut Dewi bertanya kepadaku. “Mmm... kurang lebih tiga tahun” Kucoba untuk menjawab dengan tenang. “Pasti sudah banyak sekali buku yang telah dibaca..” Satu perkataan yang seperti menyeterum keningku. Karena kuhitung-hitung ternyata buku yang benar-benar kubaca sampai selesai selama di perpustakaan ini tidak lebih dari jumlah jemari di satu tangan. “Dewi sendiri sudah habis berapa buku?” tanyaku balik penasaran. “Target sih tiga hari satu buku, tapi kadang jadi seminggu karena malas. Jadi mungkin sekitar baru tujuh buku.” Jawabnya pelan merendahkan diri. Aku terdiam merenungi perkataannya. Renungan yang memundurkan beberapa langkahku. Karena dia telah berada di tempat yang jauh dan lebih tinggi dariku saat ini.

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/terimakasih/di-perpustakaan-2_56c57fedce92737d06de614e

Saturday, October 8, 2016

Belajar Insyaf

Tampaknya aku semakin erat memeluk Islam ini. Begitu pula sebaliknya, sepertinya ia juga mengeratkan pelukannya kepadaku.

Siang tadi, hal itu terjadi lagi. Biasanya aku hanya merasakan satu tonggokan di dada. Tapi kali ini lebih dalam dan membuatku terhenti. Satu katapun aku tidak kuat melanjutkannya. Untuk beberapa saat aku harus diam, menenangkan diri, bahkan beberapa kali mengusap air mata yang tiba-tiba mengucur.

Aku menangis ketika membaca Al Quran. Sungguh. Benar-benar menangis.

Waktu itu cuaca sedang mendung dan gerimis. Angin sepoi-sepoi membawa kemalasan. Memang terdapat kenikmatan yang luar biasa ketika tubuh menikmati kemalasan dengan rebahan, atau bahkan dengan ditemani berbagai permainan dari gadget dsb. Tetapi Allah dengan sangat baik mengingatkanku untuk memenuhi panggilanNya.

Dengan semangat yang hanya diriku yang tahu, aku berangkat jama’ah dzuhur di masjid. Semangat itu tidak tampak. Begitupun kekhusyu’an yang kulakukan, yang terkadang aku masih tidak yakin sedang melakukannya atau tidak. Tetapi jika memahaminya dengan hati yang benar-benar tunduk, itulah kenikmatan yang ada di hati dan jiwa, yang terkadang bisa mengalahkan kenikmatan yang dirasakan oleh raga/ tubuh.

Setelah sholat dan dzikir, pada mulanya aku hanya ingin melanjutkan bacaanku. Tepatnya membaca hizb ke-26 (setengah terakhir juz 13). Di sana ada surat Ar Ra’du dan surat Ibrahim. Awalnya hanya bacaan pelan seperti biasa. Tetapi semakin lama semakin terasa khidmat sehingga aku mulai menyaringkan bacaanku. Dan tiba-tiba perasaan itu datang. Semangatku yang kubawa dan kuantarkan seperti mendapat sambutan. Dada ini terasa sempit atau lapang, aku kurang tahu pastinya apa yang terjadi. Tetapi itulah terjadi, ada yang menyentuh hatiku. Sehingga tepat pada ayat:

رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ ٤٠

40. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku

Aku terhenti dan menikmati perasaan itu..



Alhamdulillah kupanjatkan kepada Allah atas nikmat ini. Meski hanya sebentar. Meski tidak tampak. Alhamdulillah kusampaikan kepadaMu.

Ya Allah ya Tuhanku, terimalah..
Ya Allah ya Tuhanku, ridhoilah..

Thursday, September 22, 2016

Di Perpustakaan (1)

Sudah dua bulan Dewi di sini. Mungkin inilah saatnya untuk mengenalnya lebih jauh. Mungkin dengan mengajaknya jalan-jalan siang. Ah tidak mungkin, siang ini sangat panas. Lagian jalan-jalan ke mana. Atau mengajaknya ngobrol atau berbincang tentang sesuatu. Tapi ini perpustakaan, mana bisa ngobrol di sini. Kalaupun bisa, pasti tidak akan puas karena harus bisik-bisik. Atau menawarkannya makan siang bersama. Atau mentraktirnya. Ah.. kuhentikan pikiranku yang terus berputar dan kuputuskan mendatanginya.

Aku berjalan ke mejanya. Cukup dekat. Hanya sekitar 5 meter dari mejaku.

“Mas Andi, ada yang bisa dibantu” Dewi berdiri dari kursinya.

“Mmm.. udah makan siang? Mau ga makan siang bareng?” Suaraku terdengar sedikit kaku.

“Maaf mas, tampaknya hari ini tidak bisa. Mungkin lain kali” Dewi menjawabku agak ragu.

“Oke.. ga apa-apa” kuusahakan untuk tersenyum yang kuyakin pasti terlihat kecut.

Dewi kembali duduk. Mengotak-atik komputer di mejanya. Aku bergeser mundur beberapa langkah. Lalu sekilas kusadari alibi yang cukup kuat. Kembali kudatangi Dewi yang kukira dia sangat sibuk karena tidak menyempatkan waktu untuk makan siang.

“Dewi.. Pak Angga nya ke mana” Pak Angga adalah ketua bagian sistem dan data. Dialah dulu yang mengajarkanku sistem perpustakaan ini dan tata cara operasionalnya.

“Dia tadi sedang keluar dengan Pak Sujono” Jawaban sekilasnya itu seketika membuatku mundur dengan tertunduk. Ku tenangkan pikiranku kalau sekarang belum saatnya.

Sumber gamber: www. rukle.com

Pak Sujono adalah kepala perpustakaan ini. Mereka berdua keluar bersama. Biasanya akan ada program besar atau apalah semacamnya. Dan bisa jadi pekerjaan akan menumpuk lagi. Padahal baru seminggu ini penginputan buku-buku yang baru datang baru selesai.

Akhirnya kuputuskan untuk ke kantin sendiri. Beberapa Mahasiswa tampak bercengkerama dengan sesama. Ada juga beberapa dosen yang kukenal. Siang ini memang cerah. Mungkin itulah yang membuat hari ini lebih ramai dari biasanya. Khususnya di perpustakaan dan di kantin. Dua tempat yang tidak pernah lepas dari rutinitasku.

Jam makan siang telah selesai. Ingin segera kembali ke kantor dengan ruangan berACnya. Meninggalkan panasnya terik matahari. Anehnya semua orang merasakan keluhan yang sama tentang panasnya cuaca hari ini. Padahal kalau tidak salah, kudengar orang-orang ini menginginkan hari yang cerah sejak hampir dua minggu ini cuaca mendung dengan hujan dan bergimis yang silih berganti dan tidak pernah berhenti.

Aku sendiri lebih menyukai cuaca mendung. Kurasa mendung lebih enak karena panas matahari meredup sedikit. Juga tidak tahu mengapa, rasanya kalau musim-musim penghujan seperti ini terasa lebih produktif dan semangat bekerja.

Baru pertama menginjakkan kaki di meja resepsionis. Benar saja. Seluruh karyawan dan staff perpustakaan dikumpulkan oleh Pak Sujono di ruang rapat. Tiga tahun bekerja sini sudah cukup bagiku mendapatkan feel tentang apa yang sedang terjadi di perpustakaan ini.

Aku telat. Pintu telah ditutup. Kubuka pelan. Bu Andini yang duduk paling dekat dengan pintu mendekatiku. Dia membisikiku untuk pergi ke meja jaga. Aku bertanya mengapa, karena itu bukan bagianku. Bu Andini menjelaskan kalau itu adalah perintah Pak Sujono. Sekilas beliau yang berdiri di depan memberhentikan presentasinya dan menoleh ke arahku dengan kedipan. Akhirnya dengan gerakan mundur kututup pintu kembali. Tapi sebelum daun pintu kututup rapat, kulihat wajah Dewi yang duduk di kursi barisan kedua. Dia menatapku.

Bersambung

Saturday, July 16, 2016

Kembali Belajar



Pasca bergelut dengan skripsi kemarin, otak dan jemari sepertinya ingin beristirahat. Tapia pa daya, hati terus memaksakan ajakannya untuk menulis. Jadi ini inlah; satu-dua pikiran yang terlintas dalam selang beberapa hari ini.

Yang pertama adalah satu isu besar (bagi orang muslim normal) yang terjadi di belahan bumi yang lainnya, tepatnya di negara Turki. Yaitu kegagalan kudeta Presidan Recep Tayyip Erdogan. Berbagai sumber menyebutkan kalua kegagalan tersebut adalah karena dukungan rakyat yang kuat terhadap pemerintahan Erdogan, sehingga para pengkudeta selain berhadapan dengan loyalis pemerintahan, juga berhadapan langsung dengan rakyat yang langsung turun ke jalanan kita Ankara dan Istanbul. Alhasil, alhamdulillah Turki masih stabil seperti sedia kala. Menjadi Negara dengan prinsip Islam yang disegani oleh dunia.

Saya melihat hal ini sebagai bukti bahwa cita-cita luhur masih bisa diperjuangkan, meskipun berbagai aral rintangan terus menghadang. Turki bisa, mengapa Indonesia tidak bisa?? Bagaimana cara menciptakan kemajuan di Indonesia? Yang pertama kali harus dibenahi adalah pribadi setiap individu untuk selalu menginsyafi dirinya. Kumpulan individu yang seperti ini adalah menjadi masyarakat yang kuat, sehingga bangsa yang berkepribadian kuat akan tercipta. Dan dengan begitu akan muncullah pemimpin yang diidam-idamkan. - Kayaknya mudah sekali dikonsepkan ya??? – Tapi tidak apa-apa, ini adalah niatan baik, dan niatan baik adalah suatu kebaikan. 

-
Yang Kedua, Adikku tiga hari lagi akan mengikuti jalur mandiri test masuk Universitas (amat jauh beda topiknya ya?? hehehe...) . Ini adalah harapan terakhir untuk bisa masuk ke universitas Negeri. Dan aku dari keluarga, aku disuruh mengantarkanya, padahal aku sendiri punya agenda yang mungkin tidak mungkin (tidak) bisa ditinggalkan. Dan karena agendaku sendiri masih belum jelas, kusanggupi untuk mengantarkannya. 

Ingin kukatakan padanya “Dunia universitas itu berbeda. Kamu harus memiliki prinsip. Jangan suka ikut-ikutan. Apalagi bangga dengan apa yang kamu pura-pura lakukan. Jadi diri sendiri. Tegakkan sholat. Jika kau dalam kesulitan, meminta bantuanlah dengan sholat dan sabra. Kemudian berbebesar hatilah jika ada satu-dua hal yang tidak sesuai harapanmu. Dan terakhir, maafkanlah kakakku ini yang belum bisa banyak membantumu”. 

Insyaallah blog ini akan hidup kembali, guna berbagi satu-dua pikiran, untuk kembali belajar.


Monday, May 23, 2016

Ramadhan oh Ramadhan

Sebentar lagi Ramadhan. Terasa ga terasa, ga masalah. Yang penting sebentar lagi Ramadhan, bulan yang istimewa bagi umat Islam.

Flashback.. selama setahun ini (pasca Ramadhan yang lalu), banyak hal dan pelajaran yang saya dapatkan yang saya tidak tahu kenapa, itu semua berujung pada penantian Ramadhan nanti. Iya.. Saya menantikan Ramadhan. Saya menantikan suasana itu, sahur, dahaga siang, sore jingga yang lunglai, ta'jil, buka puasa, sholat tarawih, kehangatan malam, lantunan tadarus Al Quran, semua itu..

Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya hanya Ramadhan datang, ya datang, puasa ya ikut puasa, terawih ya terawih, pokoknya ikut-ikutan.
Eh.. pengecualian, Ramadhan kemarin saya pas KKN, jadi agak beda..

*foto bekas kenang-kenangan KKN.. Suasana pagi jam 5'an,
Sekilas cerita, KKN kemarin sungguh luar biasa. Bayangkan.. ternyata masih ada pulaau Jawa yang padat ini yang satu dusun dihuni hanya 12 rumah. Alhamdulillah di tempatkan di sana. Menjadi bagian dari mereka selama kurang lebih 30 hari, sesuatu yang luar biasa. 

...kembali ke Ramadhan. Menyongosng Ramadhan ini, sesuatu di hati ini. Mungkin inikah yang dinamakan Iman yang naik. Jika memang benar, saya ingin hal ini berlangsung selamanya.

Spiritual setiap orang memang berbeda-beda. Ini adalah pengalaman pribadi setiap orang. Apalagi dalam Islam, ada khazanah sufism dengan maqomat dan ahwalnya yang tidak bisa dibilang sederhana. Ada dimensi tersendiri di sana yang hanya bisa benar-benar dimengerti dengan merasakannya. Saya tidak tahu.. tapi apakah ini, yang saya rasakan ini ada kaitan dengan itu semua, saya tidak tahu.

Memang inilah kehidupan. Antara ruang dan waktu dan petuangalan di antaranya. Pendakian gunung, penyusuran lembah, pengarungan samudra, tapi saya, kurang lebihnya, sampai saat ini masih lebih banyak berpetualangan di sini, di dalam otak dan hati. Kalau boleh dikatakan, berfilsafat, termasuk mungkin di dalamnya memfilsafati keimanan.

Jika terlalu jauh, nanti pembaca yang terhormat bisa-bisa ikut seperti saya. Oleh sebab itu, kembali kepada penantian Ramadhan ini, marilah kita persiapkan diri kita. Ada banyak hal menanti kita di sana. Ada pelajaran yang harus kita telaah kembali seperti dulu.

Ramadhan oh Ramadhan, dia tetap seperti itu.
Akulah yang harus malu
Butiran hikmahnya sering kulewati
Apaun Kau selalu mengasihi

Dia tetap seperti itu
Hati ini yang selalu lugu
Padahal bersamanya menanti fitri
Kemenangan bagi dia yang dikasihi

Friday, May 6, 2016

Late Night Note

Hanya saja hidup ini aneh. Terkadang sangat kompleks dan rumit, terkadang terasa sangat sederhana dan simple...

Salah satu penyebab rumitnya hidup ini adalah banyaknya masalah yang sedang kita hadapi. Ketika itu hati terasa sempit. Otak tidak berpikir. Pundak tidak bisa rileks dan nafas tidak teratur.

Sebaliknya, hidup ini adalah sederhana dan simple. Sesederhana bulu-bulu kapuk yang tertiup angin dan berterbangan. Angin yang datang menghadang itu disambut dengan lembut, hingga akhirnya bulu-bulu tipis itu terbang ke angkasa dengan leluasa. Terbang ke atas sana dengan sebebas-bebasnya.

Satu lagi yang membuat hidup ini sederhana adalah cinta. Karena tidak ada yang lebih sederhana dari cinta. Dan sesuatu apapun itu yang terbawa oleh cinta akan mengikuti sifat cinta tersebut. Akirnya, jadilah hidup ini sederhana.

Tapi sayangnya, tidak banyak orang yang berpikir seperti itu. Tidak banyak orang yang bisa hidup dengan sederhananya cinta. Aku sendiri saat ini masih menikmati sederhanya cinta itu. Cinta yang masih tanpa kata-kata, hadiah, perhiasan, make up, foto-foto yang diunggah, dll. Cukuplah cinta dengan senyuman. Senyuman di wajah dan hati.


Sayangnya cinta sederhana yang itu, yang kumiliki itu masih belum memiliki tempat untuk berlabuh. Dan memang aku tidak ingin memaksakannya. Sepertinya untuk yang satu ini akan kubiarkan mengalir sejauh apapun itu aliran. Sampai kelak dia akan menemukan jurang yang dalam dan siap untuk diterjunkan.

Hanya inilah kata-kata yang kumiliki untuk apa yang sedang kurasakan malam ini.



Catatan Akhir Kuliah (2)

Waktu semakin mepet, sedangkan tidak banyak yang bisa saya lakukan, kecuali menunggu.

Menunggu apa? its complicated. Hanya saja dalam saat-saat seperti ini otakku menjadi lebih jernih. Aku bisa melihat sesuatu lebih jelas dari biasanya. Lebih bisa memilih dan mimilah. Dan lebih berani mengambil tindakan.

Mungkin masa-masa inilah yang akan menjadi pelajaran paling berharga dalam hidupku yang singkat ini. Masa-masa penantian. Seperti dia ketika menanti kejora setiap malam. Hanya Dia yang tahu dan berkuasa untuk mengakhiri penantian itu.

Yah.. aku benar-benar yakin kalau ini akan menjadi pelajaran terpenting. Menjadi pamungkas dari setiap pelajaran-pelajaran hidup yang telah bertumpuk bak gundukan kerdus di gudang. Dan ini lah kerdus terakhir dengan beirisikan hal yang paling berharga. Tinggal mau dikemanakan ?

Memang masih ada sedikit keraguan dan rasa takut seperti sebelum-sebelumnya. Pengingkaran. Tapi kali ini aku yakin. Karena aku sendiri telah lelah dengan masa lalu itu. Aku yakin..

-----

Menuliskannya seperti ini malah membuat keyakinanku berlipat ganda. Seperti yang kuhadapi ini adalah batu loncatan, yang akan melontarkanku jauh ke depan. Insyaallah.

Ah.. hayalanku terlalu tinggi. Sekarang saatnya kembali ke masa penantian ini. Menunggu. Sekarang, hari ini sedikit ragu. Tapi seperti yang sudah kubilang. Aku yakin Dia mendengar dan akan membantuku. Insyaallah.

Tidakkah ini seru? tidakkah ini menegangkan? oleh karen itu, kau harus kuat dan tetap fokus. Jangan lalai! jangan seperti dulu! Kuatkan hatiku. Perjernih lagi otakmu, sampai sangat jernih, paling tidak seperti istananya Nabi Sulaiman yang digunakan untuk menyambut Ratu dari Saba.

Dan jangan lupa, terus meminta kepadaNya. Dia Maha Tahu. Allaha Tahu. Yeah.. Allah Knows..

Friday, April 29, 2016

Catatan Akhir Kuliah (1)

Ternyata sudah hampir satu bulan saya meninggalkan blog ini. Banyak alasan yang bisa ditawarkan. Tapi sepertinya alasan yang paling tepat adalah malas.

Jadi begini..

Bingung mau nulis apa.. Tapi harus nulis!

Bagaimana kalau cerita tentang skripsi? hahaha... Sepertinya itulah bahan yang paling tepat untuk dituliskan dan dicurhatkan di sini. Mumpung satu bidang, iya kan? Yang membedakan, yang satu harus ilmiah (paling enggak diusahakan), dan yang ini tulisan bebas. Ah.. yang penting nulis

Tapi sebelum itu, sepertinya harus ada penjelesan mengapa udah umur segini (24) baru nulis skripsi. Dan jawabnya simple. Karena saya telat masuk bangku kuliah.
Jadi beban ga? pastinya iya. Bayangin sekitar tiga/dua tahun yang lalu ketika saya diharuskan melihat foto-foto wisuda teman-teman seangkatan dulu ketika sekolah. Sedangkan waktu itu saya masih masih tenggelam dengan tugas-tugas kuliah, perbaikan materi kuliah dan kuliah itu sendiri. 'Rasanya' itu di mana-mana, rasa sakit iya, tapi sedikit, paling tepat adalah rasa bangga melihat mereka dengan senyumannya yang merekah.

Jadi, nyesel ga? Kalau ditanya itu, dengan tegas saya menjawab tidak. Hidup ini terlalu indah untuk disesali. right? 'Cause I have no regret so far in my life. Karena sejauh ini apa yang telah saya dapatkan diluar ekspektasi saya dulu. Umur bukan masalah gelar sarjana. Tapi lebih luas dan besar dari itu. Karena hidup jauh lebih luas dan besar dari itu, iya kan? Dan apa yang saya tuliskan ini sungguh-sungguh lho. Bukan hanya pernyataan membela diri atas keterlambatan gelar. Hehe... 

Dan inilah, masa-masa akhir dunia perguruan tinggi (Strata satu) yang dari masa sekolah dulu sering diangan-angankan. Ternyata hanya seperti ini. Seperti ini seperti apa? Saya sendiri merasa kalau ini adalah fase paling kacau dalam hidup saya, hehehe.. Tapi di balik kekacauan itu, ada banyak sekali hal-hal baru yang baru saya fahami dan dapatkan. Mungkin sebagai kelak nanti di masa tua, atau hanya sebagai hiasan di otak ini saja.

Dan inilah...

Oh iya, Skripsinya gimana? Sorry, mungkin di lain kesempatan akan saya ceritakan. hehehe..

Masa-masa itu, hehehe... 
(TB 2013, Metallica Live In Concert. Jakarta)

Thursday, March 31, 2016

Catatan Terima Kasih (4)

Hari ini terasa indah. Mengapa? karena saya bahagia. Hahaha... Sungguh hari ini saya tidak bisa menyembunyikan senyuman indah ini (hehehe..). Ini karena tim futsal saya tadi pagi memenangkan pertandingan final kejuaran futsal di kampus.

Sebenarnya dari awal tidak ada yang berniat untuk mencari kemenangan. Apalagi mentargetkan diri menjadi juara. Semuanya sepakat kalau kejuaraan ini adalah just for fun untuk menutup masa-masa akhir di kampus tercinta ini. Tapi kami tetap bermain dengan keseriusan. Mungkin itulah kuncinya, enjoy tapi serius.

Di delapan besar kami berjumpa dengan lawan unggulan. Tidak ada yang menyangka kalau skor berakhir dengan 5-3 untuk keunggulan kami. Di semifinal, kami kebebolan terlebih dahulu sebelum menyamakan kedudukan di menit akhir dengan goal yang saya cetak (hehehe). Sungguh.. waktu itu kami hesteris, juga penonton, sampai-sampai saya yang mencetak goal lupa untuk selebrasi. Kedudukan berakhir 2-2 dan dilanjutkan dengan adu tendangan finalty, dan kami menang.

Hari ini, kami bermain dengan optimistis tinggi. Tapi tetap tidak lupa dengan tujuan awal dari mengikuti kompetisi ini. Bahkan kami berencana memainkan semua pemain yang belum pernah main, atau bisa dibilang pemain lapis kedua. Tapi seketika tiba di lapangan, keadaan berubah. Ialah teman-teman yang datang menyaksikan. Mereka pasti mengharapkan permainan yang menyerang, menarik, dan menghibur. Jadi, ya.. kami bermain seperti biasa, serius tapi tetap enjoy.

Awal pertandingan berjalan agak lamban. Kami kemasukkan dua goal terlebih dahulu sebelum berhasil menyamakan kedudukan dan membalik skor 3-2 sebelum peluit babak pertama usai. Di babak pertama tersebut saya mendapat satu peluang emas ketika berhadapan satu lawan satu dengan kipper lawan, tapi tendangan saya melenceng. Dan langsung saja ketika itu penonton menyoraki "Hooo" kepada saya. Saat itu saya benar-benar malu.

Di babak kedua ada beberapa pergantian pemain, termasuk saya yang diganti. Praktis saya hanya bisa mensupport dan memberi beberapa instruksi tambahan dari luar lapangan. Pertandingan berlangsung alot. Beberapa benturan terjadi, sedikit sikut, tackle, dorongan, dll. tapi itu wajar saja.  Skor berubah menjadi 5-3 masih menjadi milik kami sebelum waktu tambahan tiga menit. Kami bermain lebih lebih rileks. Dan akhirnya dengan umpan-umpan pendek tiki-taka disusul dengan umpan silang datar yang diakhiri dengan seorang teman yang berlari overleap dan mensliding bola tersebut merubah kedudukan menjadi 6-3. Saat itu para penonton seperti histeris berteriak kegirangan, termasuk diri saya sendiri yang masuk ke lapangan merayakan goal tersebut.

Moment seperti itu dalam kehidupan saya pribada sangat langka. Sudah tidak terhitung saya mengikuti kompetisi atau semacam kejuaraan seperti itu. Dan kerena di setiap kali itu juga tim saya selalu kalah. Maka kali ini yang sepertinya menjadi yang terakhir, tim saya (kami) berusaha untuk tidak memikirkan hasil tetapi mengerahkan keseriusan ketika bertanding. Really... for today, I can't stop thinking about it.

Skor berakhir dengan 6-4 untuk kami (lawan memperkecil kedudukan di menit-menit akhir). Setelah pertandingan usai, kami pulang ke basecamp dengan senyum berbinar-binar. Mengulas balik pertandingan, saling meledek, tertawa, pesta kecil-kecilan, dan hal-hal semacamnya.

Untuk itu, saya pribadi mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka yang telah di sana dan menjadi bagian dari ini semua. Thanks guys...


Monday, March 21, 2016

Catatan Terima Kasih (3)

Ternyata sudah lama tidak mampir ke sini. Blog tempat berbagi pikiran dan uneg-uneg. Sebenarnya sempat kepikiran untuk serius dengan blog ini. Sehingga benar-benar bisa dikatakan sebagai blogger. Tapi apa daya, Keseriusan itu hanya ada dalam angan.

Ada banyak hal yang bisa diceritakan untuk beberapa hari ini, terutama menyangkut Universitas yang kutinggali saat ini. Tapi bingung memulainya dari mana. Atau mungkin karena lebih baik cerita-cerita tersebut tidak dituliskan. Entah lah...

Jadi kali ini akan saya menulis singkat tentang keluarga. Yaitu orang-orang yang selalu menjadi pilihan terdekat dalam hidup ini. Beberapa minggu yang lalu adik saya menelepon minta doa karena dia telah mendaftar SNPTN atau apa sejenis (tidak faham) untuk masuk jurusan kedokteran UNAIR Surabaya. Saya tidak faham prosedur pendaftaranya atau ujiannya atau seleksinya. Intinya dia ingin kuliah di sana. Ya sudah.. saya hanya bisa mendoakan.

Saat itu saya benar-benar terbangun.Ya Allah.. Ternyata kami sudah sejauh ini. Keluarga kami yang dulu terasa sederhana sekarang telah tumbuh berasama waktuMu. Memang dalam banyak hal kami tidak sejalan. Tapi bersaudara adalah satu ikatan lain. Tidak seperti sahabat, atau kekasih, atau pengidolaan. Bersaudara adalah ikatan darah yang tidak bisa diganti. Oleh karena itu tidak,berbedanya jalan yang kami tempuh bukan berarti berbedanya tujuan. Sebab surga yang kami angankan sama. Di sana. Di telapak kaki ibu yang sama.

Teringat dulu, adik saya ini sering saya marahi karena tidak nurut, tidak mau disuruh, sekarang telah dewasa. Mungkin nanti pada gilirannya dia yang akan memarahi saya. Saat dia tahu pilihan yang saya pilih adalah pilihan yang salah. Mungkin juga karena kekeras-kepalaan saya yang saya yakin telah dia sadari sejak lama. Itu tidak masalah. Yang terpenting di masa kedewasaan adalah kesadaran untuk saling insyaf. Dan syukurlah jika saat itu ada seseorang yang mengingatkan kita untuk insyaf.

Dan nanti pada saatnya, saya yakin kami akan berkumpul lagi seperti dulu bersama bapak dan ibu. Semoga saat itu, dewasa kita tetap terasa sederhana seperti ketika kita menghabiskan masa kecil dulu.

Semoga lulus di sana dan semua anganmu dikabulkan olehNya..




Wednesday, March 2, 2016

Belajar Sederhana

Sederhana itu indah. Mungkin hal yang paling indah.

Mengapa? Sebenarnya tidak ada alasan khusus atau penjelasan yang meyakinkan. Hanya saja ada suatu perasaan yang terkadang berkata, "jangan ke sana !" Tapi sayangnya perkataan tersebut tidak didengarkan, yang akhirnya berujung suatu penyesalan. Ini karena ke sana itu tidak sederhana.

Perasaan yang berkata tersebut seperti suara hati yang memberi arahan akan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Mengikuti suara hati tersebut, itulah sederhana.

Kebaikan dalam hidup, itulah sederhana. Karena banyak sekali hal yang buruk dalam kehidupan ini, dan semua keburukan tidak satu pun yang bersifat sederhana.

Aaaargh.. membicarakan hal ini membuat kepala bingung sendiri.
Kembali kepada hubungan sederhana dan keindahan.
1. Apakah hal-hal yang aneh itu indah?
2. Apakah hal-hal yang setengah/ belum jadi itu indah?
Tidak ada satu pun hal di atas yang indah, kecuali yang kebetulan. Hal-hal yang kebetulan pun akan berefek pada rasa iri yang menimbulkan kedengkian, dan itu bukanlah suatu sikap yang indah.

Cerita suatu drama yang berbelit-belit, berputar-putar tidak indah. Begitu juga cerita yang datar tidak berkonflik. Suatu cerita yang mengalir dam bisa membawa fikiran bergelanyut, sehingga timbul penyesalan ketika cerita tersebut harus berakhir, itulah keindahan.

Itulah yang ingin seharusnya ditangkap dan ditanamkan dalam sanubari. Cerita yang sederhana. Yang menyisakan wadah untuk tarikan nafas panjang, dan yang menutup bocornya sikap untuk suatu tindakan bodoh.

Jadi pada intinya, sederhana adalah tidak kurang dan tidak berlebih-lebihan. Apa takarannya? Takarannya ialah suara hati yang tersebut di atas. Dan masalahnya adalah, pastikan hati tersebut tidak bisu, sehingga ia bisa bersuara. Bila perlu bersihkan itu hati beserta corong-corongnya, sehingga suara yang timbul akan lantang dan menggema.

Satu lagi masalah, bila telah ada seruan suara tersebut. Mendengarkan, menjawab dan mengikutinya tidaklah mudah. Jadi siapkan mental untuk menghadapinya...

Sederhana oh sederhana.. Ternyata tidak sesederhana itu.

Ada satu larik puisi yang sangat indah (karena sisanya aku lupa). Ia berbunyi. "aku ingin mencintaimu dengan sederhana". Ini adalah salah satu kalimat dalam bahasa Indonesia yang paling indah. Sungguh kalimat sederhan yang penuh makna, kebaikan, dan harapan.




Saturday, February 20, 2016

Insyaf

Islam adalah satu-satunya jalan. Sulit untuk menjelaskannya. Tapi itulah yang kuyakini.

Karena jalan inilah yang membawa kedamaian. Kedamaian yang murni, jernih, dan sejati. Seperti semilir angin yang tidak pernah berhenti. Itu jika ketakwaan senantiasa dijaga dan ditegakkan.

Matahari terbit dan terbenam. Senyum berganti tangis. Kebencian dan cinta. Tapi Iman adalah sesuatu yang lain. Ia harus tetap di sana, apapun yang terjadi. Terus mengusahakannya. Itulah yang kupahami.

Nabi Muhammad SAW. Beliaulah keteladanan dalam hal ini. Rahmatan lil 'alamin. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepadanya.

Al Quran. Kalam ilahi. Membacanya adalah suatu kehormatan. Pagi dan petang. Merasakannya. Petunjuk utama untuk jalan ini. Menghindarkan dari kesesatan.

Dan jiwa ini lah yang masih senantiasa rapuh untuk istiqomah berdiri dengan pilar-pilar itu. Padahal itulah tempat untuk pulang.

Mata, telinga, dan hati.
Mata, telinga, dan hati.
Melihat, mendengarkan, dan merasakan
Andai saja hanya kebaikan-kebaikan yang tertera di sana. Tapi sekali lagi, jiwa ini rapuh untuk mengarahkan dan membimbing mereka bertiga.

Aku ingin insyaf..
Ya Allah tunjukkanlah..
Ya Allah terimalah..