Friday, March 27, 2015

Frustasi

Jika saja aku tidak di sini mungkin keadaan akan lebih mudah, atau mungkin lebih sulit. Aku tak tahu karena hidup hanya memiliki satu arah satu tempat dan satu waktu bagi satu orang. Hanya saja angan terus berputar mencari tempat untuk bersembunyi dari kenyataan yang mengelilingi. Di situlah terkadang aku merasa perutku sakit.

Hari ini perkuliahan berjalan kembali normal. Pertemuan dengan para dosen yang seharus memberikan inspirasi, masih seperti dulu, monoton. Materi kuliah yang seharusnya menjadi tumpuanku dalam tahapan mencari ilmu, lebih sering memberi beban yang dengannya langkahku semakin berat menapaki tahapan tersebut. Tugas-tugas yang seharusnya melatih dan memberiku banyak hal untuk dipelajari, hanya berputar-putar menunggu deadline, dan hanya memberikan kelegaan separuh setelah menuntaskannya.
  
Karena terkadang aku masih bingung dengan yang kukejar. Dan itu karena terlalu banyak yang ingin kukejar. Seperti ribuan capung yang bertubi-tubi menghambat helaan nafas untuk fokus mencari dan melihat sayap seekor kupu-kupu. Dan bisikan yang menanyakan “apakah aku sudah lelah” terkadang memekakkan telinga. Sampai terkadang membuatku ingin berpaling dan pulang.

Pulang adalah kata bagi mereka yang telah pergi. Apakah aku sudah benar-benar pergi? Adakah yang kudapatkan dari kepergianku ini? Inilah pertanyaan terberatku.

Saat ini adalah saat keheningan. Keheningan di dalam hati. Mendaki ogah, takut ketinggian. Turunpun tak mau, takut kehinaan. Hanya diam menunggu arah angin. Mungkin inilah yang terbaik, keadaan dengan resiko terkecil. Seperti manusia biasa lainnya.

Tapi jika dibiarkan, maka eksistensiku akan dipertanyakan. Apakah aku masih ada atau sudah mati? Aku ingin masih ingin hidup. Tapi angin tak kunjung datang dan kupu-kupu yang kucari semakin mulai memudar. Mungkin aku harus tidur sejenak. Mencari bebatuan untuk bersandar dan memejamkan mata mencari titik hitam.

Thursday, March 26, 2015

Harum

Di sana ada sebuah mesjid yang berdiri tegak. Langit-langitnya putihnya lebih tinggi dari kebanyakan masjid di Indonesia. Kubah bulatnya yang putih, dalam dan luarnya, terkadang aku menyayangkannya. Kubah putih luarnya tak mengapa, tetapi yang di dalam. Ini setelah dulu aku pernah ikut pembangunan sebuah masjid. Aku menyadari andilku saat itu sangat sedikit, tapi aku memperhatikan banyak, Sangat banyak.

Waktu itu masa pengecoran kubah sudah selesai. Tapi bambu-bambu penyangga masih dibiarkan meski corcoran sudah tampak kering. Sempat bingung saat itu. Pikiranku bambu-bambu ini langsung dibersihkan. Kemudian diteruskan dengan pemasangan keramik atau apalah setelahnya. Tapi pikiranku salah kaprah. Bambu-bambu tetap dibiarkan.

Pertama yang dilakukan yaitu pengmabilan triplek-triplek melengkung alas pengecoran kubah. Setelah tampak abu-abu melengkung paduan pasir dan semen yang menggantikannya. Keesokan harinya seorang kawan membaya peralatan lukis dan gambar ukuran besar. Dia bersama kawannya yang tidak begitu kukenal naik memanjat bambu-bambu tegak itu. Mereka menggambari lengkungan abu-abu itu ornamen dan kaligrafi. Suatu ornamen yang tidak jelas jika dipandang dari bawah saat itu karena masih tertutup persilangan bambu yang saling menegakkan.

Kalau tidak salah, hampir satu bulan penuh mereka berdua atau bertiga dengan kawannya yang satu lagi menggambarnya. Ketika bambu-bambu itu diruntuhkan dan dipinggirkan, wow.. indah. Sangat indah. Tak jemu mata memandangnya. Aku bertanya-tanya saat itu dan seterusnya “bagaimana perasaan mereka bertiga setelah ini?”

Setelah itu, setiap masjid yang kusinggahi, tak luput mataku menatap atasnya. Menatapa lengkung kubahnya. Ada yang masih putih ada juga yang lebih indah. Ada lagi yang jauh lebih indah. Tak hentilah mulut ini bertashbih kerananya. Manusia saja bisa membuat keindahan seperti ini, apa lagi Yang Maha Indah..!

Tapi apalah arti keindahan itu kalau berdiri atas kemunfikan. Yang kelak akan membawa bahaya bagi kita. Aku sangat berharap mereka-mereka yang membangunnya benar-benar atas pondasi hati yang tulus ikhlas.

Dan saat ini, setiap pandangkau merayap ke kubah putih ini, aku tak bisa menghitungnya tak yang jelas ada banyak sekalli burung-burung yang mengitarinya. Pun aku tak tahu jenis burung itu, kecil seperti burung pipit, tapi saat kutanya temanku, dia bilang kalau itu bukan burung pipit. Burung-burung ini terkadang membawaku ke angan masa kecil dulu, kupilih satu di antaranya. Kujadikan jagoan ketika mereka terbang, mana yang lebih cepat dan paling cepat di antara mereka. Tapi karena mereka tidak memiliki lintasan yang jelas, belok kanan kira tak jadi masalah. Masalah itu di tanganku, “yang mana yang jagoanku…? hilang entah kemana..?”

Panas di sini tak terasa, padahal terik terus menyengat. Okelah.. dari pada bermandi keringat, kusinggah ke sana, di bawah kubah putih itu. Eh.. di sini saja, di teras. Keramik putih, tiang putih, dinding putih, hanya kusen jendela dan pintu yang coklat.

Wah.. Teduh di sini. Tiga anak tangga teras jadi tempat duduk ternyaman. Seingatku tak pernah senyaman ini. Andaikan ada kawan yang bisa kuajak ngobrol di sini, pasti sangat menyenangkan.

Tapi kebosanan itu akhirnya ada. “Kenapa tak baringkan tubuh..?” Berbaring terlentang menatap putih langit-langit masjid. Mataku bergesar ke biru langit sungguhan. Memang benar.. Dia Yang Maha Indah. Kalau tidak karenanya mana mungkin ada keindahan seperti yang kutatap saat ini. Langit.

Diam..

Langit.. Di Quran kata langit kebanyakan berbentuk plural sedangkan kata bumi setelahnya kebanyakan hanya disebut sekali. Mungkin kita disuruh memandanginya lebih banyak daripada memandangi bumi ini. Aku tak tahu.

Sekarang terbersit teka-teki aneh di otakku, “di manakah kau bisa leluasa memandang langit biru dengan tidur terlentang tanpa terkena panas sinar matahari..?” Di taman kampus, tak mungkin, malu diliatin banyak orang. Di teras rumah, aha gak leluasa pasti bokap bentar-bentar akan manggil. Di trotoar, ihh.. disangka orang gila entar. Di gubuk sawah tempat petani berteduh, ehm.. mungkin kalau sendirian. Ya di sini ini.. teras masjid. Eh.. tidak hanya di sini, masjid yang itu juga bisa. Yang di sono juga bisa. Yang di Surabaya juga bisa, Yang di Solo juga bisa. Yang di Makasar juga bisa. hahaha..

Sebentar lagi jam tiga, waktunya sholat ashar. Sejuk angin yang menghembus di sini membuatku tak ingin beranjak. Sungguh..! sungguh sangat harum.

Payah

Setiap kali cahayanya masuk ke mataku, cahaya-cahaya lain terasa kabur. Fokus otomatis dan selainnya blur. Tapi hanya sebatas pandangan. Dia di sana dan aku masih di sini.

Hari ini aku berjalan melewati kantornya. Pintu setengah terbuka. Kupicingkan mata dan sekejap terlihat kerudung putih dan kaos blus merah muda lengan panjang berjalan menjauh membelakangiku. Hatiku berdebar. Aku tidak melihat mukanya tapi aku merasakannya.

Nama belum tahu. Alamat, nomor telepon apalagi. Mendengar suaranya pun aku belum pernah. Berkenalan? itulah kesempatan yang kutunggu. Dan hampir sepuluh bulan kesempatan itu belum juga datang. Mungkin akan kutunggu dua bulan lagi supaya genap satu tahun. Jika belum juga ada kesempatan, akan aku coba langsung mendatanginya dan berkata, “hai.. boleh kenalan ga?”

Tapi bagaimana kalau dia sudah menikah? ya mungkin aku harus terpaksa menunggu salah satu dari kalian para wanita datang lagi ke kehidupanku. Dan harus bersabar dan bersabar lagi. Karena nasehat yang selalu kudengar kalau sabar adalah satu sikap yang paling mulia. Aku tak tahu apakah sabar seperti ini yang dimaksudkan.

Pagi menjelang siang seperti ini adalah rutinitas yang paling membosankan. Di mana beberapa pekerjaan kantor sudah mulai beres dan semangat mulai turun. Dua jam menunggu waktu makan siang membuat pikiranku jemu dan tidak produktif. Karena hanya satu hal yang ada di sana, si dia.

Terkadang ada lamunan apakah hal yang dia sukai? adakah sama dengan yang kusuka. Terkadang terlintas bagaimana keadaan keluarganya? orang tua, adik atau kakaknya mungkin? Atau terkadang masih terngiang bagaimana pertama kali aku melihatnya. Mungkin inikah yang disebut sebagai pemuja rahasia yang maksudkan Sheila on 7.

Pertama kali melihatnya, Aku teringat saat itu ketika di komplek parkiran, karena aku sudah hampir tiga tahun bekerja di sini, hampir semua kendaraan orang-orang yang bekerja di sekitar sini sudah kukenal meskipun tidak pemiliknya. Tapi tampak dari jauh terlihat mobil yang sama sekali belum pernah kulihat. Lalu keluar seorang perempuan. Tidak begitu jelas karena jarak sekitar tiga puluhan meter. Aku mendekat bukan karena ingin tahu, tapi karena itu adalah arah ke kantorku. Dia berjalan balik ke arahku, tapi tentu saja bukan karena ingin mengetahuiku tapi itu adalah arah ke kantornya. Di satu titik mataku menganga menatapnya. Satu hal terbersit adalah wajahnya sangat teduh. Apalagi saat itu dia berjalan menunduk.

Dan setelahnya kesempatan seperti itu sangat jarang terjadi karena terkadang aku kesiangan atau dia yang terlalu pagi. Atau juga sebaliknya. Kalaupun tidak seperti itu, dia pasti berjalan bersama teman-teman sekantornya yang tak satupun juga kukenal.

Ibuku pernah berkata kalau aku payah dalam bersosial. Mungkin ada benarnya, karena memakai media sosial pun kurasa belum pernah berhasil. Teman kantor hanya teman di kantor, hanya untuk perkerjaan. Teman kuliahku, entahlah.. mereka serasa menghilang ditelan bumi. Apalagi teman SMA. Dan dari film yang kutonton atau buku-buku yang kubaca, hampir semuanya berkesimpulan orang yang tidak pandai bersosial akan banyak menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Mungkin iya, tapi pada satu titik aku bahagia. Adakah kesalahan memilih kebahagiaan dengan cara seperti ini?

Jam 11.30, satu jam lagi waktu makan siang dan istirahat. Mejaku sudah bersih dengan dokumen-dokumen kantor. Bos juga tampaknya lagi baik moodnya. Biasanya waktu seperti ini kugunakan untuk membaca buku, kalau tidak membaca beberapa isu-isu yang beredar.

“Krek… Assalamu’alaikum..”. Astaga.. si dia masuk ke kantorku. Hatiku serasa mau pecah.

“Pak Andi ?”

Aku berdiri tergagap mengiyakan, jatungku berdetak sepeti kalah satu detik oleh pemenang perunggu kejuaraan lari maraton.

“Bisa minta tolong fotokopikan beberapa dokumen ini” Dia menunduk menyodorkan beberapa lembar kertas.

Mengapa aku? aku baru teringat kalau jam-jam segini resepsionis selalu melemparkan tamu atau beberapa pekerjaan tambahan kepadaku. Mungkin sudah diketahui kalau jam segini adalah jam kosongku.

“Iya-iya.. silahkan ikut saya!” aku masih tergagap. Pikiranku tidak jelas memberi keputusan mana dulu yang harus ku lakukakan. Berjalankah? minta dokumennya kah? memanaskan mesin fotokopinya kah? menanyakan berapa yang kebutuhannya kah? mencium parfumnya kah? Atau tersenyum dahulu kah?

Baru kusadari dia tidak hanya memiliki wajah yang teduh. Ternyata dia sangat cantik. Mungkin itulah yang membawa keteduhannya. Dia diam berdiri menunggu di belakangku. Aku bingung antara ikut diam atau memulai obrolan. Kuputuskan memulai obrolan. Dan bodohnya, kepalaku membeku bingung apa yang harus kutanyakan.

Fotokopi selesai. Kuserahkan hasilnya. Dia tersenyum berterima kasih, kemudia pergi. Hatiku yang dari tadi terbang ke angkasa tiba-tiba jatuh kembali ke daratan menyadari dia menghilang dibalik pintu. Aku berjalan di belakangnya dan kembali ke mejaku. Payah.. payah.. payah.. dalam benakku. Kusalahkan, kubodohkan diriku dalam hati.

Hmm… Aku duduk termenung.

Esok masih ada. Semoga aku masih hidup dan dia pun juga begitu. Besok aku harus berangkat lebih pagi dan mencobanya. Apapun hasilnya harus kucoba. Tapi ini adalah ikrar yang sama yang kesekian kalinya kuucapkan. Semoga besok benar-benar bisa kulakukan.

Bersambung di sini

Wednesday, March 25, 2015

Menggema di ....

Musik semakin menggema di telinga. Jika saja tidak ada yang menciptakan waktu, mungkin akan aku sanggup untuk menghabiskan sisa hidup ini untuk mendengarkannya semua. Karena mendengarkannya memberikan rasa tidak akan pernah sama. Selalu terdapat pengalaman baru.

Nietzhe berkata kalau kehidupan ini akan error jika tidak ada musik. Cukup masuk akal bagi seorang yang telah membunuh Tuhan dalam pikirannya. Hanya saja pendapatku mungkin agak tidak sama atau mungkin bahkan lebih. Kehidupan tanpa musik akan membuatnya tidak bernilai, karena tidak akan ada usaha untuk mengendalikan waktu untuk menghadap ke Penciptanya. Musiklah yang membedakan rasa pada setiap detik waktu yang kita rasakan.

Itulah mengapa aku menyukainya. Seperti saat ini, sore kelabu dengan pilihan antara antara memasangkan headset di telinga atau mengerjakan hal lainnya. Untungnya belum pernah kujumpai pilihan yang sulit karena aku tak pernah memikirkan untuk memilih apa, hanya mengikuti ke mana kaki melangkah, dan di situlah aku.

Sabar adalah satu sikap yang bisa diisi dengan sikap yang lainnya. Dan mendengarkan musik adalah satu pekerjaan yang bisa diisi dengan melakukan pekerjaan lain. Musik dengan menulis. Musik dengan membaca. Musik dengan menyapu. Musik dengan makan. Musik dengan menari. Atau bahkan musik dengan tidur. Dan itulah mengapa manusia menjadi sangat sepesial. Makhluk lain tidak ada yang bisa menikmati music seperti kita. Bahkan mungkin sampai malaikat dengan segala kemampuannya.

Pepatah berkata "kau harus memiliki musikmu sendiri". Paling tidak untuk suatu kesempatan tertentu atau untuk seseorang. Untuk yang pertama, telah banyak kisah dan kenangan yang tersirat di playlist yang kusimpan. Tapi untuk yang kedua, musik untuk seseorang, aku belum menemukannya. Karena aku belum menemukannya.

Mungkin suatu ketika nanti, ketika waktu itu datang, musik yang tepat akan dating dengan sendiri membingkainya. Satu dua nada sederhana akan terasa tidak sesederhana itu. Akan menggema di telinga, mata, pipi, bibir, pikiran, tangan, kaki, perut, lutut, pinggul, jantung, dan tentu saja hati. Ahh... Kuharap kalian sabar!