Sunday, November 29, 2015

Sepuluh Tahun (2)

Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Tulisan sebelumnya di sini

Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung. Masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya.

Terlepas dari lamunan, kusadari waktuku tidak banyak, harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Keyakinan akan kebutuhan untuk beribadah.

Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua kesempitan yang berputar-putar di dada beberapa saat yang lalu menjadi lapang begitu saja. Aku tak tahu mengapa. Duduk di teras musholla yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Tapi, meski di sini sangat damai, dibanding di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kusangklukkan kembali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang. Kerena kupikir akan aneh jika bepergian jauh tanpa membawa apa-apa.

Kembali ke trotoar jalan, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga berpikiran hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan pergi ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus arah jurusan yang kutuju. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiyak agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan orang kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas sangat ramai, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini.

Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Karena aku sendiri ogah untuk membuka tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus.

Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini.

Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. 

Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana.

Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti.

Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan pavingan yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..?

Masih dipenuhi berbagai hal di kepala, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang karenanya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu.

Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk ikut menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku tidak banyak berubah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri.

Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan.

Bersambung di sini

Saturday, November 28, 2015

Sepuluh Tahun (1)

Kulihat sekilas jam tangan yang hampir tertutup baju lengan panjang orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini. Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis seakan tak mau berhenti di hari-hari ini. Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku ini meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala mengacuhkannya dan juga memjamkan mata, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati. Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu. Hanya seutas senyummu. Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, mungkin akan sangat menyenangkan bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti. Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasan bus yang baru selesai kududuki. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung tak karuan dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar seakan-akan menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan. "Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil ingin memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan pandangannya kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya. Bersambung..

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-1_552adfda6ea8342221552d05
Kulihat sekilas jam tangan yang hampir tertutup baju lengan panjang orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini. Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis seakan tak mau berhenti di hari-hari ini. Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku ini meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala mengacuhkannya dan juga memjamkan mata, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati. Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu. Hanya seutas senyummu. Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, mungkin akan sangat menyenangkan bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti. Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasan bus yang baru selesai kududuki. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung tak karuan dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar seakan-akan menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan. "Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil ingin memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan pandangannya kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya. Bersambung..

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-1_552adfda6ea8342221552d05
Kulihat sekilas jam tangan yang hampir tertutup baju lengan panjang orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini. Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis seakan tak mau berhenti di hari-hari ini. Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku ini meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala mengacuhkannya dan juga memjamkan mata, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati. Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu. Hanya seutas senyummu. Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, mungkin akan sangat menyenangkan bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti. Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasan bus yang baru selesai kududuki. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung tak karuan dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar seakan-akan menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan. "Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil ingin memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan pandangannya kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya. Bersambung..

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-1_552adfda6ea8342221552d05
Kulihat sekilas jam tangan yang sedikit tertutup lengan panjang baju orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini.

Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis telah menjadi kebiasaan di hari-hari ini.

Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku, meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala dan tak mengacuhkannya, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati.

Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu.

Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, akan sangat menyenangkan jika bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti.

Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasana bus yang baru kutinggalkan. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam tadi duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan.

"Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil dan memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan sedikit tatapan kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya.

Bersambung di sini

Wednesday, November 25, 2015

Jangan Diam !

Hari ini hari kamis 26 Agustus 2015. Tidak ada yang istemewa. Hanya saja baru kusadari ternyata tahun 2015 tinggal satu bulan lagi. Terasa sangat cepat waktu berlalu. Atau mungkin kita tidak merasakannya, karena kehidupan ini mengalir di dalamnya. Berjalan bersama waktu.

Seperti halnya seseorang berlari searah dengan angin. Dia tidak merasakan angin yang terhembus jika kecepatannya sama dengan angin yang berhasil melawan udara diam yang akan menghempasnya. Di sana ada angin yang terhembus. Tapi dia tidak merasakannya. Dan begitulah sebaliknya yang terjadi dengan orang yang hanya duduk.

Mungkin seperti itulah kehidupan ini. Dia yang berlari lebih kencang dari angin dibelakangnya akan merasakan angin baru dari depannya. Kalaupun tidak ada angin, udara sedang diam. Dia akan menciptakan anginnya sendiri hasil. Udara diam itulah yang akan menghembusnya. Karena dia bergerak, kehidupannya akan bervariasi. Mulai dari apa yang ada dalam dirinya sendiri, apa ditinggalnya di belakang, keadaan sekelilingnya, dan apa yang sedang menghadangnya di depan. Semakin cepat dia berlari, semakin banyak pengalamannya. Sampai saatnya dia lelah dan istirahat, menikmati apa yang telah dia raih. Mungkin begitulah seterusnya jika dia kembali berlari.

Orang yang duduk diam, mungkin dia akan merasakan sejuknya angin yang menghembus kearahnya, tapi dia akan stagnan. Apa yang terjadi dengannya hanya terjadi dari belakang, seperti hembusan angin tadi, itupun kalau ada angin. Tidak ada jarak yang ditempuh, tidak ada olah dalam raga, dan praktis keadaan di sekitarnya tidak akan berubah (kecuali ada bencana alam).

Maka dari itu setiap orang harus bergerak. Untuk kebaikannya sendiri. Apapun itu. Fikiran, perasaan, tangan, kaki, kepala, hati, perut, lidah, telinga, mulut, mata, dll. Dalam artian menggerakannya sesuai dengan fungsinya. Apa guna telinga jika tidak untuk mendengarkan? mendengarkan banyak hal, dari yang terkecil sampai hal-hal besar yang mungkin harus diulang sehingga benar-benar bisa dimengerti.

Yah.. inilah kehidupan menurut seorang mahasiswa yang bentar lagi mau diwisuda.. Amin ya Rabbal'alamin... Memang tidak mudah mengangkat punggung dari sandaran, tapi di luar sana ada banyak hal yang menuggu. Tidakkah ada keinginan untuk datang mencoba dan merasakannya???

Saturday, November 21, 2015

Lebih Dinamis Lebih Harmonis

Masalah datang dan pergi. Kelapangan juga seperti itu. Naik turus bak roda, itulah gambaran hidup.

Terkadang sesuatu yang buruk datang. Melemahkan kita, dan terkadang sampai membuat kita linglung. Tapi yang harus diingat dan harus ditanamkan dalam hati, banyak orang lain di luar sana yang keadaannya lebih buruk dari kita. Yakinlah kalau di antara 7,3 miliyar penduduk bumi saat ini ada yang mengalami hal yang lebih buruk..

Agar apa? agar kita kuat dan tidak terpaku pada penderitaan. Hidup terus berjalan, dan dalam perjalanannya banyak hal yang akan terjadi, termasuk perubahan keadaan. Dari buruk menjadi baik. Suram penuh luka menjadi ceria bahagia dan semangat. Itulah siklus yang harus diyakini.

Dan setelahnya, terkadang kenikmatan yang kita dapat membawa kebahagiaan yang tidak terkira. Membuat kita terbang. Mengantarkan kita ke tempat penuh bunga yang indah. Sampai-sampai kita lupa. Lupa bahwa kenikmatan di dunia tidak akan pernah habisnya. Mungkin karenanyalah Tuhan tidak melangsungkannya untuk kita.

Dia kasihan kepada kita. Kasihan kepada hati kita yang jika hanya dipenuhi kenikmatan, hati ini kelak tidak memiliki pengalaman yang beragam. Bagaimana rasanya kelegaan setelah keluar dari kesukaran yang menghimpit. Bagaimana rasanya sembuhnya luka sehingga tidak ada lagi yang menghalangi kita untuk berlari.

Dan semuanya kembali bahwa apa-apa yang ada di kehidupan ini keberadaannya tidak untuk selamanya. Mata yang basah dengan tangisan suatu saat nanti pasti akan diganti dengan pancaran sinar yang berbinar-binar penuh senyum kebahagiaan. Yakinlah..

Lalu apa setelah semua itu.. Haruskah kita mematikan perasaan ini? Tidak! Satu hal yang pasti yang harus dilakukan adalah bersyukur. Bersyukur bisa merasakan semua itu. Kita jadikan pengamalaman ini, pahit dan indahnya sebagai lahan untuk berlatih. Melatih diri, dan jiwa kita supaya menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dinamis. Dan setelahnya menjadi orang yang bermanfat bagi yang lain. Sehingga kehidupan ini lebih harmonis

Friday, November 13, 2015

Belajar Perspektif

Perspektif.. itulah masalah yang paling utama. Banyak orang yang menyalahkan karenanya. Banyak juga yang membenarkan. Meskipun ada juga yang diam di antara keduanya.

Saya sendiri masih belajar perspektif. Meskipun saya kira itu bukan suatu disiplin ilmu yang kasat mata. Yang tidak jelas objeknya. Tapi inilah kunci dari segala pintu keluar dari perdebatan. Jika kuncinya bisa ditemukan, maka pintu akan terbuka. Dan mereka bisa keluar melihat matahari cerah, atau setidaknya membiarkan cahayanya masuk menyinari.

Dulu ibu selalu memberi nasehat kalau menunda pekerjaan itu menambah kesulitan. Dalam artian berarti jangan malas. Tapi bagi orang yang sedang malas dan acuh tak acuh, apalah arti kemalasan.. kemalasan tidak berarti apa-apa. Perspektif mereka telah berbeda.

Keinginan ini dan itu, itulah perspektif yang paling kuat. Tapi terkadang takaran kekuatannya masih belum diketahui dengan pasti. Sehingga ketika terjadi benturan, maka terjadi kebuntuan. Akhirnya keinginan tidak terwujud. Memaksanya?? pemaksaan jarang membawa kebaikan. Apalagi keinginan akan keburukan.

Jika dalam keadaan tersebut, saatnya mendengar perkataan "jika kau tidak bisa merubah dunia, maka rubahlah cara pandangmu". Ini berarti harus ada suatu perubahan. Seperti meninggalkan sebentar ego yang ada dalam diri. Menurunkan harga diri bukan berarti harga diri seseorang bernilai rendah.

Salah satu perspektif yang cukup kuat lainnya adalah selera. Contohnya selera musik. Inilah yang saya bingung tak kepalang bingung. Ada satu band yang sangat saya sukai. Yang saya kira lagu-lagunya sangat enak untuk didengar. Tetapi mengapa orang lain ada yang tidak menyukainya?? Berkali-kali gelengan kepala tak kunjung menyelesaikan kebingunan ini.

Apalagi perspektif yang lain. Ilmu yang begitu luas cakupannya dengan tiap-tiap disiplinnya. Antropologi, sosiologi, psikologi, epistemologi, atau yang logi-logi lainnya. Kalau dalam filsafat ada worldview. Apalagi agama. Dan ditambah lagi dalam satu disiplin ilmu saja pemahaman tiap orang berbeda-beda. Betapa kompleksnya masalah ini.

Sebuah rumah terlihat sangat indah dilihat dari depan, karena begitu banyak bunga di pekarangannya. Tetapi ketika dilihat dari belakang terdapat corat-coret di dindingnya yang menjadikannya kotor dan membuatnya terlihat jelek. Tapi ada orang lain yang berkata grafiti dibelakang rumah tersebut sangat bagus, dan pekarangannya kaku dan monoton. Maka tidak mengeherankan jika jarang ada kata sepakat di antara kita, meskipun cara pandang utuh dan menyuluruh dari rumah tersebut telah dilakukan.

Tapi ada satu perspektif yang saya kira cukup universal. Yang setiap orang memilikinya, dengan caranya masing-masing. Yang sebenarnya bisa menyelesaikan banyak permasalahan. Tapi Sayangnya banyak di antara kita yang masih kaku dengannya. Ialah cinta. Saya tidak tahu mengapa. Tapi ketika saya mencintai seseorang, tak perduli memandangnya dari depan atau belakang, jauh atau dekat, tersenyum atau menangis, cinta tetaplah cinta.