Wednesday, October 12, 2016

Di Perpustakaan 2

Cerita sebelumnya di sini

Sudah tiga hari kami mengejar target program-program yang tersusun dalam agenda perombakan perpustakaan ini. Kali ini bukan program-program kecil seperti pengadakan buku baru. atau lainnya. tapi benar-benar perombakan. Yang tadinya perpustakaan ini tergolong kecil dengan standard pas akan berubah menjadi perpustakaan besar dan di atas standard. Tepatnya perluasan dari yang  hanya menempati lantai dua itupun tidak seluruhnya, menjadi tiga lantai penuh. Pada intinya satu gedung ini menjadi gedung perpustakaan.

Tiga tahun bekerja di sini, baru inilah tanda positif yang kudapatkan. Berarti penyediaan informasi ilmiah benar-benar mendapat dukungan dan perhatian serius dari instansi ini. Dan memang seharusnya seperti itu, karena tempat ini adalah perguruan tinggi. Meskipun swasta dan tidak terlalu besar, perpustakaan adalah elemen penting dalam dunia perguruan tinggi.

Aku sedikit bingung ketika Pak Sujono memberitahukan hal ini secara langsung kepadaku di kantornya. Padahal berita ini bisa saja disampaikan oleh Bu Andini atau Pak Romeo atau kalau bisa Dewi atau siapa saja. Beliau berbicara denganku empat mata mengenai program-program yang terencana. Bahkan memberi tahu beberapa kebijakan yang akan diambil setelah perluasan ini selesai.

Pekerjaanku untuk siang ini telah selesai. Kulihat ruangan sebelah Pak Angga masih terlihat sibuk dengan komputer mejanya. Bagian sistem dan data pasti sangat sibuk menyiapkan program baru untuk system katalogisasi buku. Itulah yang kudengar. Perpustakaan bertambar besar, sistemnya pun harus lebih besar, atau tepatnya lebih accessible.

Kulihat Dewi yang hanya tampak kerudung merahnya juga sepertinya masih terpekur dengan pekerjaannya. Padahal sebentar lagi waktu menunjukkan ishoma. Sampai saat ini aku masih menunggu kesempatan untuk mengenal Dewi lebih dalam. Dan kupikir satu-satunya kesempatanku mendekatinya adalah saat-saat makan siang. Dan sepertinya kali ini aku harus nekad lagi.

“Andi, kamu dipanggil Pak Angga!” Bu Andini memberitahuku.

“Sekarang?” Jawabku heran, padahal sebentar lagi waktunya rehat.

“Iya.. cepat sana! Katanya penting!” Jawab Bu Andini sambil berdiri mengangkat tumpukan buku.

Aku memasuki bagian ruangan system dan data. Dewi yang sedang duduk mendongak melihatku masuk. Aku hanya tersenyum kepadanya. Dan seketika itu Pak Angga langsung memanggil namaku. Aku langsung berjalan ke mejanya yang hanya berjarak dua meja dari meja Dewi.

“Andi.. kamu isikan kolom-kolom ini sesuai dengan nama-nama klasifikasi buku beserta nomor-nomornya. Pakai komputer ini saja!” Pak Angga berdiri dan mempersilahkanku untuk duduk di tempatnya.

“Sekarang Pak?” Aku masih ragu, karena ku kira waktunya tidak pas.

“Iya, besok ini sudah akan dilihat oleh Pak Kepolo” Yang dia maksudkan adalah Pak Sujono Kepala Perpustakaan ini.

“Oke” Aku mengiyakan, sementara  hatiku berkata 'apa boleh buat'. Perut sudah terasa keroncongan. Pagi tadi hanya sarapan sedikit. Tapi karena ini adalah bagian dari pekerjaan yang sudah kukomitmenkan, maka aku harus menjalankannya.

Kumulai pengisian kolom-kolom yang ditugaskan dengan harapan lebih cepat selesai. Beberapa menit berselang baru kusadari ternyata ini adalah sistem katalogisasi buku yang baru. Sistem baru yang katanya open source, berarti program ini nanti bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Tetapi di sisi lain berarti penginputan data buku harus dimulai lagi dari awal. Kecuali kalau telah ada back up data dari system yang lama yang bisa diimport ke sistem yang baru ini. Kepalaku sedikit ngilu memikirkan beratnya pekerjaan jika harus menginput ulang lagi seluruh data buku.

Tak kusadari Pak Angga telah meninggalkan ruangan. Beberapa staff yang lain juga telah pergi. Tapi tidak jauh dariku, si kerudung merah ini masih tak beranjak. Masih duduk sibuk dengan mouse di tangan.
Baru terpikir olehku kalau ini adalah suatu kesempatan. Kesempatan yang telah kutunggu-tunggu. Kulirik dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kaca mata. Kemudian dia mengambil satu buku di samping monitor komputernya. Dia baca buku tersebut.

“Dewi.. baca buku apa?” kupaksaan memulai percakapan. Percakapan yang tidak lagi berkaitan dengan acara makan siang seperti beberapa hari yang lalu yang gagal total. Kulihat wajahnya yang sedikit berbeda karena baru kali ini aku melihatnya memakai kaca mata.

“Buku tentang antropolgi mas” Dia menjawab sambil tersenyum.

Aku hanya manggut-manggut. Ingin membuka sedikit diskusi, tapi aku sama sekali tidak mengerti masalah antropologi. Dan sekali lagi, aku harus diam menanggapi jawabannya atas pertanyaanku.

“Mas Andi sudah berapa lama di sini?” Aku terkejut Dewi bertanya kepadaku.

“Mmm... kurang lebih tiga tahun” Kucoba untuk menjawab dengan tenang.

“Pasti sudah banyak sekali buku yang telah dibaca...” Satu perkataan yang seperti menyeterum keningku. Karena kuhitung-hitung ternyata buku yang benar-benar kubaca sampai selesai selama di perpustakaan ini tidak lebih dari jumlah jemari di satu tangan.

“Dewi sendiri sudah habis berapa buku?” tanyaku balik penasaran.

“Target sih tiga hari satu buku, tapi kadang jadi seminggu karena malas. Jadi mungkin sekitar baru tujuh buku.” Jawabnya pelan merendahkan diri.

Aku terdiam merenungi perkataannya. Renungan yang memundurkan beberapa langkahku. Karena dia telah berada di tempat yang jauh dan lebih tinggi dariku saat ini.

Sumber gambar: http://www.mirajnews.com
Bersambung
Sudah tiga hari kami mengejar target program-program yang tersusun dalam agenda perombakan perpustakaan ini. Kali ini bukan program-program kecil seperti pengadakan buku baru. Tapi benar-benar perombakan. Yang tadinya perpustakaan ini tergolong kecil dengan standard pas akan berubah menjadi perpustakaan besar dan di atas standard. Tepatnya perluasan dari yang tadinya hanya menempati lantai dua itupun tidak seluruhnya, menjadi tiga lantai penuh. Pada intinya satu gedung ini menjadi gedung perpustakaan. Tiga tahun bekerja di sini, baru inilah tanda positif yang kudapatkan. Berarti penyediaan informasi ilmiah benar-benar mendapat dukungan dan perhatian serius dari instansi ini. Dan memang seharusnya seperti itu, karena tempat ini adalah perguruan tinggi. Meskipun swasta dan tidak terlalu besar, perpustakaan adalah elemen penting dalam dunia perguruan tinggi. Aku sedikit bingung ketika Pak Sujono memberitahukan hal ini secara langsung kepadaku di kantornya. Padahal berita ini bisa saja disampaikan oleh Bu Andini atau Pak Romeo atau kalau bisa Dewi atau siapa saja. Beliau berbicara denganku empat mata mengenai program-program yang terencana. Bahkan memberi tahu beberapa kebijakan yang akan diambil setelah perluasan ini selesai. Pekerjaanku untuk siang ini telah selesai. Kulihat ruangan sebelah Pak Angga masih terlihat sibuk dengan komputer mejanya. Bagian sistem dan data pasti sangat sibuk menyiapkan program baru untuk system katalogisasi buku. Itulah yang kudengar. Perpustakaan bertambar besar, sistemnya pun harus lebih besar, atau tepatnya lebih accessible. Kulihat Dewi yang hanya tampak kerudung merahnya juga sepertinya masih terpekur dengan pekerjaannya. Padahal sebentar lagi waktu menunjukkan Ishoma. Sampai saat ini aku masih menunggu kesempatan untuk mengenal Dewi lebih dalam. Dan kupikir satu-satunya kesempatanku mendekatinya adalah saat-saat makan siang. Dan sepertinya kali ini aku harus nekad lagi. “Andi, kamu dipanggil Pak Angga!” Bu Andini memberitahuku. “Sekarang?” Jawabku heran, padahal sebentar lagi waktunya rehat. “Iya.. cepat sana! Katanya penting!” Jawab Bu Andini sambil berdiri mengangkat tumpukan buku. Aku memasuki bagian ruangan system dan data. Dewi yang sedang duduk mendongak melihatku masuk. Aku hanya tersenyum kepadanya. Dan seketika itu Pak Angga langsung memanggil namaku. Aku langsung berjalan ke mejanya yang hanya berjarak dua meja dari meja Dewi. “Andi.. kamu isikan kolom-kolom ini sesuai dengan nama-nama klasifikasi buku beserta nomor-nomornya. Pakai komputer ini saja!” Pak Angga berdiri dan mempersilahkanku untuk duduk di tempatnya. “Sekarang Pak?” Aku masih ragu, karena ku kira waktunya tidak pas. “Iya, Besok ini sudah akan dilihat oleh Pak Kepolo” Yang dia maksudkan adalah Pak Sujono Kepala Perpustakaan ini. “Oke” Aku mengiyakan, sementara dalam hatiku berkata apa boleh buat. Perut sudah terasa keroncongan. Pagi tadi hanya sarapan sedikit. Tapi karena ini adalah bagian dari pekerjaan yang sudah kukomitmenkan, maka aku harus menjalankannya. Kumulai pengisian kolom-kolom yang ditugaskan dengan harapan lebih cepat selesai. Beberapa menit berselang baru kusadari ternyata ini adalah sistem katalogisasi buku yang baru. Sistem baru yang katanya open source, berarti program ini nanti bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Tetapi di sisi lain berarti penginputan data buku harus dimulai lagi dari awal. Kecuali kalau telah ada back up data dari system yang lama yang bisa diimport ke sistem yang baru ini. Kepalaku sedikit ngilu memikirkan beratnya pekerjaan jika harus menginput ulang lagi seluruh data buku. Tak kusadari Pak Angga telah meninggalkan ruangan. Beberapa staff yang lain juga telah pergi. Tapi tidak jauh dariku, si kerudung merah ini masih tak beranjak. Masih duduk sibuk dengan mouse di tangan. Baru terpikir olehku kalau ini adalah suatu kesempatan. Kesempatan yang telah kutunggu-tunggu. Kulirik dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kaca mata. Kemudian dia mengambil satu buku di samping monitor komputernya. Dia baca buku tersebut. “Dewi.. baca buku apa?” kupaksaan memulai percakapan. Percakapan yang tidak lagi berkaitan dengan acara makan siang seperti beberapa hari yang lalu yang gagal total. Kulihat wajahnya yang sedikit berbeda karena baru kali ini aku melihatnya memakai kaca mata. “Buku tentang antropolgi mas” Dia menjawab sambil tersenyum. Aku hanya manggut-manggut. Ingin membuka sedikit diskusi, tapi aku sama sekali tidak mengerti masalah antropologi. Dan sekali lagi, aku harus diam menanggapi jawabannya atas pertanyaanku. “Mas Andi sudah berapa lama di sini?” Aku terkejut Dewi bertanya kepadaku. “Mmm... kurang lebih tiga tahun” Kucoba untuk menjawab dengan tenang. “Pasti sudah banyak sekali buku yang telah dibaca..” Satu perkataan yang seperti menyeterum keningku. Karena kuhitung-hitung ternyata buku yang benar-benar kubaca sampai selesai selama di perpustakaan ini tidak lebih dari jumlah jemari di satu tangan. “Dewi sendiri sudah habis berapa buku?” tanyaku balik penasaran. “Target sih tiga hari satu buku, tapi kadang jadi seminggu karena malas. Jadi mungkin sekitar baru tujuh buku.” Jawabnya pelan merendahkan diri. Aku terdiam merenungi perkataannya. Renungan yang memundurkan beberapa langkahku. Karena dia telah berada di tempat yang jauh dan lebih tinggi dariku saat ini.

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/terimakasih/di-perpustakaan-2_56c57fedce92737d06de614e
Sudah tiga hari kami mengejar target program-program yang tersusun dalam agenda perombakan perpustakaan ini. Kali ini bukan program-program kecil seperti pengadakan buku baru. Tapi benar-benar perombakan. Yang tadinya perpustakaan ini tergolong kecil dengan standard pas akan berubah menjadi perpustakaan besar dan di atas standard. Tepatnya perluasan dari yang tadinya hanya menempati lantai dua itupun tidak seluruhnya, menjadi tiga lantai penuh. Pada intinya satu gedung ini menjadi gedung perpustakaan. Tiga tahun bekerja di sini, baru inilah tanda positif yang kudapatkan. Berarti penyediaan informasi ilmiah benar-benar mendapat dukungan dan perhatian serius dari instansi ini. Dan memang seharusnya seperti itu, karena tempat ini adalah perguruan tinggi. Meskipun swasta dan tidak terlalu besar, perpustakaan adalah elemen penting dalam dunia perguruan tinggi. Aku sedikit bingung ketika Pak Sujono memberitahukan hal ini secara langsung kepadaku di kantornya. Padahal berita ini bisa saja disampaikan oleh Bu Andini atau Pak Romeo atau kalau bisa Dewi atau siapa saja. Beliau berbicara denganku empat mata mengenai program-program yang terencana. Bahkan memberi tahu beberapa kebijakan yang akan diambil setelah perluasan ini selesai. Pekerjaanku untuk siang ini telah selesai. Kulihat ruangan sebelah Pak Angga masih terlihat sibuk dengan komputer mejanya. Bagian sistem dan data pasti sangat sibuk menyiapkan program baru untuk system katalogisasi buku. Itulah yang kudengar. Perpustakaan bertambar besar, sistemnya pun harus lebih besar, atau tepatnya lebih accessible. Kulihat Dewi yang hanya tampak kerudung merahnya juga sepertinya masih terpekur dengan pekerjaannya. Padahal sebentar lagi waktu menunjukkan Ishoma. Sampai saat ini aku masih menunggu kesempatan untuk mengenal Dewi lebih dalam. Dan kupikir satu-satunya kesempatanku mendekatinya adalah saat-saat makan siang. Dan sepertinya kali ini aku harus nekad lagi. “Andi, kamu dipanggil Pak Angga!” Bu Andini memberitahuku. “Sekarang?” Jawabku heran, padahal sebentar lagi waktunya rehat. “Iya.. cepat sana! Katanya penting!” Jawab Bu Andini sambil berdiri mengangkat tumpukan buku. Aku memasuki bagian ruangan system dan data. Dewi yang sedang duduk mendongak melihatku masuk. Aku hanya tersenyum kepadanya. Dan seketika itu Pak Angga langsung memanggil namaku. Aku langsung berjalan ke mejanya yang hanya berjarak dua meja dari meja Dewi. “Andi.. kamu isikan kolom-kolom ini sesuai dengan nama-nama klasifikasi buku beserta nomor-nomornya. Pakai komputer ini saja!” Pak Angga berdiri dan mempersilahkanku untuk duduk di tempatnya. “Sekarang Pak?” Aku masih ragu, karena ku kira waktunya tidak pas. “Iya, Besok ini sudah akan dilihat oleh Pak Kepolo” Yang dia maksudkan adalah Pak Sujono Kepala Perpustakaan ini. “Oke” Aku mengiyakan, sementara dalam hatiku berkata apa boleh buat. Perut sudah terasa keroncongan. Pagi tadi hanya sarapan sedikit. Tapi karena ini adalah bagian dari pekerjaan yang sudah kukomitmenkan, maka aku harus menjalankannya. Kumulai pengisian kolom-kolom yang ditugaskan dengan harapan lebih cepat selesai. Beberapa menit berselang baru kusadari ternyata ini adalah sistem katalogisasi buku yang baru. Sistem baru yang katanya open source, berarti program ini nanti bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Tetapi di sisi lain berarti penginputan data buku harus dimulai lagi dari awal. Kecuali kalau telah ada back up data dari system yang lama yang bisa diimport ke sistem yang baru ini. Kepalaku sedikit ngilu memikirkan beratnya pekerjaan jika harus menginput ulang lagi seluruh data buku. Tak kusadari Pak Angga telah meninggalkan ruangan. Beberapa staff yang lain juga telah pergi. Tapi tidak jauh dariku, si kerudung merah ini masih tak beranjak. Masih duduk sibuk dengan mouse di tangan. Baru terpikir olehku kalau ini adalah suatu kesempatan. Kesempatan yang telah kutunggu-tunggu. Kulirik dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kaca mata. Kemudian dia mengambil satu buku di samping monitor komputernya. Dia baca buku tersebut. “Dewi.. baca buku apa?” kupaksaan memulai percakapan. Percakapan yang tidak lagi berkaitan dengan acara makan siang seperti beberapa hari yang lalu yang gagal total. Kulihat wajahnya yang sedikit berbeda karena baru kali ini aku melihatnya memakai kaca mata. “Buku tentang antropolgi mas” Dia menjawab sambil tersenyum. Aku hanya manggut-manggut. Ingin membuka sedikit diskusi, tapi aku sama sekali tidak mengerti masalah antropologi. Dan sekali lagi, aku harus diam menanggapi jawabannya atas pertanyaanku. “Mas Andi sudah berapa lama di sini?” Aku terkejut Dewi bertanya kepadaku. “Mmm... kurang lebih tiga tahun” Kucoba untuk menjawab dengan tenang. “Pasti sudah banyak sekali buku yang telah dibaca..” Satu perkataan yang seperti menyeterum keningku. Karena kuhitung-hitung ternyata buku yang benar-benar kubaca sampai selesai selama di perpustakaan ini tidak lebih dari jumlah jemari di satu tangan. “Dewi sendiri sudah habis berapa buku?” tanyaku balik penasaran. “Target sih tiga hari satu buku, tapi kadang jadi seminggu karena malas. Jadi mungkin sekitar baru tujuh buku.” Jawabnya pelan merendahkan diri. Aku terdiam merenungi perkataannya. Renungan yang memundurkan beberapa langkahku. Karena dia telah berada di tempat yang jauh dan lebih tinggi dariku saat ini.

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/terimakasih/di-perpustakaan-2_56c57fedce92737d06de614e

Saturday, October 8, 2016

Belajar Insyaf

Tampaknya aku semakin erat memeluk Islam ini. Begitu pula sebaliknya, sepertinya ia juga mengeratkan pelukannya kepadaku.

Siang tadi, hal itu terjadi lagi. Biasanya aku hanya merasakan satu tonggokan di dada. Tapi kali ini lebih dalam dan membuatku terhenti. Satu katapun aku tidak kuat melanjutkannya. Untuk beberapa saat aku harus diam, menenangkan diri, bahkan beberapa kali mengusap air mata yang tiba-tiba mengucur.

Aku menangis ketika membaca Al Quran. Sungguh. Benar-benar menangis.

Waktu itu cuaca sedang mendung dan gerimis. Angin sepoi-sepoi membawa kemalasan. Memang terdapat kenikmatan yang luar biasa ketika tubuh menikmati kemalasan dengan rebahan, atau bahkan dengan ditemani berbagai permainan dari gadget dsb. Tetapi Allah dengan sangat baik mengingatkanku untuk memenuhi panggilanNya.

Dengan semangat yang hanya diriku yang tahu, aku berangkat jama’ah dzuhur di masjid. Semangat itu tidak tampak. Begitupun kekhusyu’an yang kulakukan, yang terkadang aku masih tidak yakin sedang melakukannya atau tidak. Tetapi jika memahaminya dengan hati yang benar-benar tunduk, itulah kenikmatan yang ada di hati dan jiwa, yang terkadang bisa mengalahkan kenikmatan yang dirasakan oleh raga/ tubuh.

Setelah sholat dan dzikir, pada mulanya aku hanya ingin melanjutkan bacaanku. Tepatnya membaca hizb ke-26 (setengah terakhir juz 13). Di sana ada surat Ar Ra’du dan surat Ibrahim. Awalnya hanya bacaan pelan seperti biasa. Tetapi semakin lama semakin terasa khidmat sehingga aku mulai menyaringkan bacaanku. Dan tiba-tiba perasaan itu datang. Semangatku yang kubawa dan kuantarkan seperti mendapat sambutan. Dada ini terasa sempit atau lapang, aku kurang tahu pastinya apa yang terjadi. Tetapi itulah terjadi, ada yang menyentuh hatiku. Sehingga tepat pada ayat:

رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ ٤٠

40. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku

Aku terhenti dan menikmati perasaan itu..



Alhamdulillah kupanjatkan kepada Allah atas nikmat ini. Meski hanya sebentar. Meski tidak tampak. Alhamdulillah kusampaikan kepadaMu.

Ya Allah ya Tuhanku, terimalah..
Ya Allah ya Tuhanku, ridhoilah..