Tuesday, December 15, 2015

Belajar Menulis 2

"Jika kau ingin menulis, menulislah. jangan kau tunda. jangan biar hal-hal sepele nan konyol membuyarkan keinginanmu. Menulislah, untuk hari ini dan esok"

Mengapa harus menulis? menurut saya, karena ada banyak sekali hal-hal bear dan hebat di dunia yang patut disampaikan. Dan selanjutnya dijadikan pelajaran, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Menulis juga untuk mengikat hal-hal tersebut agar tidak lepas. Sehingga sesekali bisa kita tengok kembali untuk mengingatkan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Berawal dari buku-buku dan tulisan lain yang telah dibaca. Atau petuah-petuah, ceramah, bahkan lagu-lagu yang kita dengar. Atau gejolak hati dengan berbagai macam perasaan yang timbul. Menuliskannya semua akan melatih perpaduan antara bahasa dan perasaan. Akan menambahkan keinsyafan pada diri. Dan akan membuka wawasan baru.

Bagaimana jika orang jahat yang menulis? Dia berkehendak untuk menyebarkan makar kejahatannya. Bagaimana dengan mereka yang memalsukan sejarah dalam karangannya? Bagaimana dengan mereka yang menyebar fitnah dengan tulisannya? Bagaimana dengan mereka yang memiliki niatan kotor dan buruk dalam tulisannya? ... Itulah mengapa kebaikan juga harus ditulis. Bahkan harus lebih dalam kulitas dan kuantitasnya, sehingga kebaikan akan menang.

Memang di sana-sini masih ada banyak manusia jahat. Ini karena syeitan masih bertebaran. Tapi manusia sejatinya tetap memiliki satu dasar kebaikan dalam hatinya, yang tidak akan berubah. Dengan tulisan-tulisan yang baik-baik, kita gubah kebaikan tersebut. Kita munculkan dan kita tarik kekepala, sehingga niatan jahat yang sedang berputar di otak terbuang.

Berbeda halnya jika orang memiliki pandangan kebaikan di satu sisi belum tentu kebaikan di sisi yang lain. Hal-hal besar yang bisa merenyuhkan hati pun tidak bisa menaklukkan hati semua orang. Kemudian masih untuk apakah menuliskannya?? Kalau sudah begitu maka kita kembalikan pada inti dari semua ini, inti kehidupan ini. Bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia adalah untuk dirinya sendiri.

"Menulislah untuk diri sendiri. Menulislah dengan sebaik-baiknya dan seindah-indahnya. Sehingga ketika kau membacanya, kau akan menemukan tulisan yang baik nan indah"

Sunday, December 13, 2015

Sepuluh Tahun (4)

Tulisan sebelumnya di sini

Beberapa saat yang lalu aku seperti berdiri di antah-berantah. Orang-orang asing tak kukenal. Gerimis dengan langit abu-abu kelam terus membayangi. Sesekali kilatan cahaya langit menggetarkan mata. Keringat dan tetesan air langit tak bisa dibedakan. Aku berdiri linglung menatap jalan lurus yang memecah pertigaan ini.

Tapi saat ini, saat kupandang laut luas di depanku. Semua kekhawatiranku hilang. Laut luas ini seakan mengajariku untuk tenang. Ketenangan dengan memendam jauh ke dalam semua kotoran-kotoran pikiran. Mengkaramkan sampah-sampah yang menumpuk di hati. Mengingat permukaan indah nan tenang sebagai hiasan hidup yang menghidupi umat manusia. Terasa dalam relung hatiku sesuatu yang merenyuh dan menggetarkan jiwa.

Masih berdiri di tepi trotoar pemisah jalan raya dan laut ini. Sembari terus berpikir tentang berbagai filosofi laut yang keluar-masuk pikiran, kuputuskan mengiringinya dengan menyisir trotoar ini, sekaligus mendekatkanku dengan tempat tujuan walau hanya beberapa langkah.

Tiba-tiba sesumbar suara mesin bus mendekat bersama teriakan kondekturnya. Bus datang pelan dari kanan belakangku. Aku menoleh girang, tapi sejenak kuputar tolehanku kembali kelaut luas dan kusapu pandangan ke trotoar lurus di depanku. Ku lihat jam hp menunjuk angka 16.40. Aku tahu mereka membutuhkan jawaban 'ikut atau tidak'. Sejenak kupikir, kepalaku sontak memutuskan untuk menggeleng dan kuberi mereka tanda untuk tidak perlu berhenti. Dan mereka melaju meninggalkanku.

Aku tersadar dan memang inilah keputusanku. Aku ingin menikmati jalan yang kupijak ini. Karena ketika kupandang laut luas ini, timbul perasaan 'aku masih ingin bersamanya'. Karena aku yakin, mereka, bus-bus ini akan datang lagi untuk menjemputku. Tapi perasaan ini tidak.

Aku tak tahu akan berapa lama dan berapa panjang perjalanan ini. Tapi akan kucoba menikmatinya setiap detik dan jengkalnya.

Kurasakan air mulai merembas naik di ujung celana jinsku. Untung aku mengenakan kaos kaki pendek sehingga tidak merembas dan telapak kaki masih hangat dalam sepatu yang telah kuikat kencang. Kususuri trotoar lurus berkeramik berwarna merah dan orange ini seorang diri. Sore semakin kelabu dengan mendung, gerimis dan kilatnya. Juga gemuruh gelombang ombak kecil tiada henti di sebelah kiriku. Kumasukkan kedua talapan tangan di saku celana. Terus berjalan.

Bising suara kendaraan bermotor di kananku bertolak belakang dengan deburan ombak-ombak kecil di kiriku. Mungkin orang-orang sedang dalam perjalanan pulang kantor. Ingin cepat-cepat sampai rumah menghangatkan diri bersama keluarganya. Angan untuk iri kepada mereka kembali muncul tapi langsung kutepis, 'aku di sini bukan untuk berangan-angan kosong, aku di sini untuk menikmati semua yang ada di depanku'.

Sejurus ada pohon besar rindang di depanku. Pohon ini mencongkel beberapa kotak keramik yang sudah tertata rapi. Atau mungkin pohon ini sudah berdiri kokoh lebih dulu sebelum pembangunan trotoar rapi berkeramik ini. Di bawahnya ada tiga anak muda yang masing-masing memegang gitar, kentrung dan kendang. Mereka para pengamen berteduh dari rintik gerimis. Kupercepat langkah, karena kurasakan rintikan gerimis semakin deras. Aku ikut berteduh bersama merek

Mereka melihatku. Setelah terdiam sejenak, kudengar mereka melanjutkan obrolan dan candaan dengan bahasa kasar. Aku mengerti bahasa mereka tapi semenjak kutinggalkan rumah untuk mengejar impian, telingaku menjadi risih mendengar kata-kata kasar ini. Tak kuacuhkan mereka, berbalik dan berkacak pinggang, kusapu kembali pandangan ke laut luas ini.

Di ujung sana, ketika laut bertemu langit, tampak garis lurus horizontal meneduhkan pikiranku. Jauh lebih teduh dari rindang daun pohon di atasku saat ini. Aku seakan melihat Tuhan dengan segala ciptaanNya yang sempurna. Tak pernah terbersit dalam pikiranku pertemuan antara dua hal yang jauh membentang ini. Mereka kokoh dengan hamparannya masing-masing, tapi saat ini aku menyaksikan pertemuan ini. Pertemuan mereka, langit dan laut.

Ku renungi hal ini dalam-dalam. Dan akhirnya mengerti bahwa sejauh apapun titik tolak perbedaan yang memisahkan dua hal, akan selalu ada titik temu yang akan mengindahkan keduanya. Titik temu ini akan berbias dengan ketentraman semua hal yang ada di sekililingnya. Dan aku merasakannya saat ini.

Dalam penghayatanku yang dalam, suara kasar mengagetkanku, "Mas.. mau kemana?" salah satu dari anak-anak muda pengamen di belakangku menegur. Aku sedikir terperanjak mendengarnya. Hilang semua hasil-hasil buah pemikiranku beberapa detik yang lalu.

"Tidak ke mana-mana, hanya jalan-jalan" jawabku agak ragu sembari berbalik menghadap ke mereka. Aku berbohong pada mereka.

"Ohh.. mau pacaran ya? lagi nungguin siapa nih?" Sela yang lain dari mereka memberondong pertanyaan.

"Tidak nungguin siapa-siapa, cuma ingin jalan-jalan sore saja" jawabku pelan. "Jalan dulu ya?" kusambung sekedar basa basi meniggalkan mereka. Mereka kali ini berbalik tak mengacuhkanku. Aku pun langsung beranjak pergi dari bawah pohon ini. Sesekali kudengar obrolan kecil di antara mereka tersambung kembali setelah beberapa langkahku telah menjauh dari mereka.

Hmm.. anak jalanan.

Ku sambung kembali pikiran-pikiranku tentang laut. Kali ini sambil terus berjalan, ku arahkan pandanganku ke sebelah kiri. Aku tak tahu laut ini sedang pasang atau surut, atau mungkin di antara keduanya. Pantai pasirnya kotor, sampah plastik di sana sini. Tapi saat ini, perhatianku lebih banyak tertuju pada ujung laut yang bertemu dengan langit mendung abu-abu. Aku berandai-andai, jika tidak mendung, mungkin awan jingga bisa kujumpai menambahkan keindahan ciptaanNya ini.

Masih dengan rintik gerimis kecil. Ku rapikan lipatan lengan panjangku yang sudah tidak beraturan. Berjalan gontai, kuayuhkan kedua tanganku. Kurasakan hembusan udara di sela-sela jemari. Ku tatap langit, tak henti-hentinya curahan tetes air menyentuh rambut, kulit, dan pakaian yang kukenakan. Meski sudah tidak sederas beberapa jam yang lalu, tapi setiap tetesnya masih terasa. Seperti ada sentuhan-sentuhan kecil memijatku dengan sejuk. Tampaknya rasa khawatirku sudah hilang tak berbekas.

Teringat kata bijak yang pernah kubaca, "akan sangat merugilah orang yang hanya mendapat basah ketika kehujanan". Sepertinya sore ini aku sedang beruntung.

Bersambung

Friday, December 11, 2015

Bangsa Yang Baik

Semester ini hampir berakhir. Sebentar lagi UAS dan setelahnya?  I don't know. Mungkin liburan sebentar, kemudian kembali lagi beraktifitas seperti biasa. Suatu siklus yang membosankan.. benar-benar membosankan.

Ketika UAS nanti, semua orang sibuk mempersiapkan diri untuk bisa menjawab ujian. Belajar. Andai tidak ada ujian, mungkinkah masih ada yang belajar. Masihkah ada yang mencari di sana-sini catatan-catatan untuk dipelajari dan didiskukisan. Masihkah ada yang belajar???

Indonesia ini terlalu nyantai. Terlalu lembek. Sehingga para pemudanya tidak punya gairah. Tidak punya ambisi untuk bisa menaklukkan. Karena di sini, tidak ada gesekan berarti yang menuntut pemecahan dari para pemudanya. Tidak ada tanjakan yang kuat untuk berdiri dan melihat jauh. Tidak ada dinding penjepit yang memaksa keluarnya pemberontakan.

Semua telah rapuh. Kepalan tangan tak sekuat dulu. Karena jaring-jaring yang diuntai oleh para pejuang kemerdekaan tidak lagi digunakan. Malas melaut karena dikira ikan yang telah tertangkap telah banyak. Akhirnya tidak ada tenaga, dan terperangkap dalam kefanaan nikmat.

Apalagi kehidupan di Jawa. Pulau yang sangat padat. Tak mungkin dijumpai satu menit saja jalan yang sepi dari kendaraan. Tak ada yang peduli dengan seberapa banyak karbon yang dihasilkan. Akhirnya apa yang dihirup itulah yang mengalir dalam tubuh bersama darah. Yang kemudian menyumbat jalan otak untuk berpikir jernih. Memutuskan rantai logika. Terjadi di semua kalangan. Dari yang kecil sampai yang gede, badan maupun jabatannya. Dan kejumudan terjadi. Semua hampir terjebak dalam system.

Sepertinya kita butuh revolusi sekali lagi, untuk kesekian kalinya. Revolusi apa? I don't know either... Lihat hal berikut, beberapa hari kemarin telah terjadi acara lama dengan teknis baru. Acara besar publik. Yaitu pilkada serempak. Apa artinya? Artinya bangsa ini sedang berdemokrasi. Sayangnya demokrasi harus seperti itu. Tidakkah dipikir dengan demokrasi seperti itu suara para guru ngaji di musholla-musholla disamakan dengan suara penjahat yang ada di terminal. Sungguh disayangkan.. Sungguh benar-benar kekacauan..

Tapi bagaimanapun juga aku bangga jadi bagian dari bangsa ini meski tidak jelas apa yang kubanggakan. Terlalu abstrak untuk dijelaskan. Mungki karena masih ada harapan untuk diperjuangkan. Yaitu menjadikannya bangsa yang besar. Tapi bukan seperti AS dan sekutunya. Bangsa besar yang baik. Itulah tepatnya harapan kecilku. Kalau tidak menjadi bangsa besar tak jadi masalah. Menjadai bangsa yang baik saja sudah cukup. Bahkan mungkin lebih baik.

Wednesday, December 9, 2015

Rock the Blues Away

Orang berbeda-beda. Selera juga berbeda-beda. Termasuk selera bermusik. Apalagi di zaman modern seperti sekarang ini, berbagai macam aliran musik telah mengalir di seluruh penjuru.

Untuk sekarang ini, bagi saya pribadi, musik adalah seperti makan, minum atau bahkan bernafas. Musik telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Aneh mungkin aneh.. tapi tidak apa-apa. Kan seperti yang saya bilang tadi, orang itu berbeda-beda.

Beberapa tahun belakangan ini tidak banyak lagu atau album baru dari para musisi yang benar-benar bisa saya nikmati. Hanya beberapa di antaranya yang benar-benar cocok di telinga. Salah satu yang masih menggema, memacu adrenalin, dan memberi hentakan ketika mendengarnya adalah satu lagu dari AC/DC dari album Rock or Bust tahun 2014 kemarin.
Angus Young




















Lagu tersebut berjudul Rock the Blues Away. Satu lagu modern dengan ciri Rock N' Roll yang masih kental dan murni. Dengan beat yang tertata rapi membuat kepala tidak berhenti headbang. Vocal yang serak-serak kental dan tinggi mengajak untuk ikut berteriak. Dan satu lagi, satu permainan gitar yang epic, mulai dari riff intro lagu sampai ke melodi bluesnya yang menyayat.

Lagu ini menurut kepala saya cocok untuk didengar oleh orang-orang yang tak ingin lelah. Orang-orang dalam suka perjalanan malam, penikmat lampu-lampu kuning remang-remang. Dan juga untuk orang-orang yang suka bertemu orang baru dan berpetualang. Dan menurut saya lagu ini berpesan untuk menghilangkan kepura-puraan, pencitraan, jaga image, atau sikap lain sejenis, lalu kemudian mengajak untuk melepaskan beban dan meluapkan ekspresi.

Itulah malam ini dengan sekilas musik saya. Saya sendiri saat ini masih banyak tugas kuliah. Untung ada beberapa playlist yang senantiasa membantu dan menemani. Seperti ketika mendengar lagu ini, dengan satu baris reffnya yang berkata "drink the night away..." serasa tidak ingin beristirahat dan tidur. Ingin rasanya membaca dan menulis semalaman suntuk. Tapi apa daya manusia harus beristirahat, dan mengingat bahwa apa yang kita lakukan hari ini bukanlah untuk hari ini. Good night...

Saturday, December 5, 2015

Dia yang Telah Lupa

Terkadang aku ingin menghitung ada berapa orang dalam hidupku. Mereka yang bersentuhan langsung denganku, maupun mereka yang hanya mempengaruhiku dari jauh. Ada berapa tepatnya jumlah mereka?

Untuk apa? hanya untuk mengetahui seberapa jauh interaksi sosialku. Dan untuk mengingatkanku sudah berapa banyak yang kuberikan kepada mereka. Dan juga karena di bumi ini sekarang ada kurang lebih tujuh miliar orang. Setiap dari mereka memiliki hidup sendiri-sendiri dengan caranya masing-masing. Seberapa jauhkah jangkauanku untuk mengenal atau setidaknya tahu mereka?

Satu rumusan dalam hidup adalah bahwa orang-orang datang dan pergi, kecuali mereka yang benar-benar memiliki tempat di hati. Dan aku yakin tidak banyak kuota di hati ini untuk orang-orang seperti itu. Maka, sepatutnyalah tempat itu disediakan untuk mereka yang memberi kita pelajaran dan membuat pribadi kita menjadi lebih baik.

Dan olehnya, maka tidak jarang drama kehidupan ini dipertontonkan. Ditampilkan di sana beberapa orang baik dan beberapa yang lain buruk. Dibuat konflik di sana. Ada beberapa di antaranya yg membuat para penonton mengelus dada, ada juga yg membosankan karena polesan yg tidak bagus sehingga ditinggal tidur. Dan tontonan seperti ini telah dimulai puluhan abad yang lalu dan mungkin akan terus begitu sampai puluhan abad yang akan datang. Dan reaksi para penontonnya pun akan selalu begitu, di antara dua yg tadi.

Akibat tontonan tersebut tidak bisa disepelehkan. Lihat saja banyak orang histeris ketika melihat sang actor secara langsung. Alur cerita yg disajikanpun telah banyak merubah presepsi penontonnya terhadap kehidupannya. Padahal drama kehidupannya berbeda dengan drama yg dia tonton. Padahal dia mempunyai drama hidupnya sendiri.

Tanpa disadari, banyak orang telah lupa lakonnya dari drama hidupnya masing-masing. Padahal dia sendirilah actor, dan dia pulalah yang menjalankan alur ceritanya. Dia telah lupa dengan orang-orang sekitarnya yang telah menjadi actor/aktris pendampingnya yang patut dia hargai dan apresiasi. Dia telah lupa dengan alam ini sebagai setting tempat syutingnya, yang seharusnya dia menyatu dengannya sehingga terjadi chemistry dalam aksi-aksinya.

Dan yang lebih parah lagi, dia telah lupa dengan Tuhan sebagai Penulis scenario sebagaimana Dialah yang menentukan alur cerita. Dia lupa untuk berbuat baik kepadaNya, sehingga jalan cerita hidupnya dibuatkan menjadi baik dan manis. Dia telah lupa..

Orang-orang sekitar, itulah salah satu elemen penting dalam drama ini. Yang mana kita juga sekaligus menjadi orang sekitar dalam drama orang lain. Oleh sebab itu, jangan kita menjadi sepertinya, menjadi dia yang telah lupa.

Thursday, December 3, 2015

Sepuluh Tahun (3)

Tulisan sebelumnya di sini

Trotoar becek ini terasa asing. Orang-orang pun tak satupun kukenal. Untuk kesekian kalinya kutoleh ke belakang, jalan lurus tempat dimana bus yang kutunggu akan datang menghampiri, tapi tak juga kudapati. Jarakku semakin jauh dengan tempat pemberhentian penumpang yang kutinggalkan beberapa saat yang lalu.

Kulihat di depan sana ada pertigaan. Ku lihat persis di belokan pertigaan seberang jalan yang menuju ke arahku muncul seorang anak laki-laki berseragam SMA berjalan diikuti anak perempuan dengan seragam yang sama berjalan di belakangnya. Terlintas dalam pikiranku, "sedang apa mereka jam segini masih memaki seragam?" tapi langsung kususul dengan jawaban "mungkin mereka pulang dari les, atau masuk sore, atau belajar kelompok". Sejenek aku berfikir jika harapan bangsa ini berada di pundak mereka-mereka yang masih berseragam.

Si laki-laki tiba-tiba berhenti, dan si perempuan yang di belakang juga ikut berhenti. Masih kuperhatikan mereka berdua tampak lucu dan mengingatkan masa lalu, masa remaja. Ketika si laki-laki berjalan, si perempuan di belakangnya juga ikut berjalan. Hahahah.. Aku kira mereka berjalan sendiri-sendiri, ternyata mereka berjalan bersama meskipun tidak berdampingan. Beda denganku yang sudah tiga jam duduk bersama seseorang tapi serasa duduk sendiri-sendiri.

Ketika sudah dekat, mereka berdua kompak menatapku. Pertama rasa malu muncul, tetapi timbul perasaan 'buat apa malu dengan dua remaja yang tak ku kenal ini'. Kutatap balik mereka satu persatu. Kata orang 'mata bertemu mata adalah pembuka suatu pertempuran, siapa yang berkedip duluan maka dalam peperangan selanjutanya akan kalah'. Aku tak mau kalah. Ketika sudah tepat berada di seberangku, mereka berdua malah berhenti . Si laki-laki berkacak pinggang mempertajam tatapannya ke arahku, dan si perempuan mengalihkan tatapannnya dariku dan menoleh ke teman laki-lakinya. Dulu sepertinya kami masih agak hormat pada yang lebih tua dengan tidak berani menatap matanya. Tapi apa yang menyebabkan mereka begitu berani, keberanian yang disia-siakan.

Aku pun ikut berhenti. Mungkin kalau tidak ada jalan raya yang memisahkan, sudah terjadi cekcok yang hanya diawali saling tatap ini. Tapi sejurus kemudian, si perempuan mendatangi temannya ini dan berbicara sesuatu yang tidak ku dengar. Aku pun mulai sadar, buat apa ngurusin hal-hal sepele seperti ini. Kutinggalkan mereka. Ku lanjutkan berjalan menyisir trotoar becek ini. Aku tak tahu apa yang terjadi di belakang sana karena ku putuskan untuk tidak mengindahkan mereka lagi. Mengalah bukanlah benar-benar kalah.

Aku terus berjalan sembari menunggu bus yang akan datang. Dan akhirnya trotoar lurus ini terhenti di pertigaan ramai ini. Banyak pedagang kaki lima, warung-warung kecil, angkutan kota yang kernetnya bertebaran mencari penumpang, tukang becak, tukang ojek, pejalan kaki dan lain-lain.

Sekarang terdapat dua jalan bercabang yang menunggu pilihanku. Ke kiri akan membawaku ke tempat yang sama sekali jauh dari tujuanku dan ke kanan akan membawaku beberapa langkah lebih dekat. Dan tentu saja ke kananlah pilihanku, karena hanyalah orang yang berada pada jalannya yang akan sampai pada tujuannya.

Ku tunggu beberapa saat di tempat penyeberangan. Setelah beberapa menit, lampu zebra cross yang hijau tanda kendaraan diharuskan berhenti memberikan kesempatan padaku untuk menyeberang.

Tapi aneh.. tidak ada satu orang pun yang menyeberang atau hanya perasaanku saja. Mungkin mereka memang tidak ada kepentingan menyeberangi jalan ini. Tapi saat ku seberangi jalan ini, ada perasaan 'mengapa sepertinya orang-orang ini memperhatikanku?' Anehkah orang berdiri sejenak satu dua menit di depan zebra cross menunggu saat yang tepat untuk menyeberang? Anehkah jika mengikuti aturan lalu lintas, tidak asal menyeberang?

Kutinggalkan mereka. Dan di sinilah aku, kembali ke trotoar lurus, tapi kali ini membujur dari timur ke barat atau sebaliknya. Ku balik tubuhku, masih dengan harapan datangnya bus dari jalan yang baru saja ku tinggalkan, jalan di depanku. Dan tetap masih belum tampak.

Semakin sore, meski waktu belum menunjuk pukul lima, tapi beberapa lampu jalan sudah dinyalakan karena cuaca masih mendung dan gerimis. Berapa lama lagi aku terjebak dalam keadaan seperti ini. Kesabaran ini benar-benar diuji. Berbagai hal yang berkecamuk di pikiranku sampai membuatku lupa akan hal indah yang menantiku di sana.

Hhhh... Hembusan udara sejuk dari belakangku, diiringi gemericik suara air membangunkaku dari lamunan. Kubalikkan tubuh, laut luas berada di depan mataku.

Bersambung di sini

Wednesday, December 2, 2015

Belajar Menulis

Orang bilang kalau menulis membuat kita abadi. Seperti orang-orang terdahulu yang masih dikenal sampai sekarang berkat karya-karyanya.

Blog ini saya namai terlahir untuk belajar karena memang untuk belajar, di samping mengisi waktu kosong, juga di samping pemanfaatan internet yang tersedia. Tapi mengisinya, terkadang malah terbersit rasa menggurui, menggurui anda para pembaca (kalau ada). Padahal ini adalah alat untuk belajar. Oleh sebab itu, insyaallah saya akan kembalikan fungsi blog ini seperti yang tertera di namanya.

Banyak hal sebenarnya yang ingin saya belajar menuliskaannya di sini. Terkadang ingin sesuatu yang berat-berat, seperti opini tentang politik bangsa ini, tentang alam, agama (terutama Islam). Tapi topik-topik berat seperti itu susah, dan akan memakan waktu yang lama. Karena memang isinya berat dan penuh dengan pemikiran.

Contohnya sekarang pukul sembilan malam lebih seperempat. Bisa saja kalau menuliskan hal-hal dengan tema tersebut di atas akan sampai pukul sepuluh lebih baru selesai. Memang, hal-hal besar dan berarti membutuhkan waktu. Tapi untuk blog ini, sepertinya hal-hal ringan akan lebih sesuai. Sedikit curhatan, cerpen-cerpen, atau ulasan sekilas tentang musik atau film, itu semua sudah lebih dari cukup jikalau memang tujuan utamanya adalah untuk belajar menulis.

Dan alhamdulillah, akhir-akhir ini mood menulis sedang tinggi-tingginya. Sudah empat hari berturut-turut ada postingan di sini. Meski dua di antaranya file lama yang saya edit kembali. Jika ini terus berlanjut, maka blog ini sepertinya akan benar-benar hidup. Dan semoga kelak akan bermanfaat.

***

Sebenarnya blog ini telah dibuat tahun 2011, tapi entah kenapa tahun 2013 baru bisa eksis. Itupun hanya delapan belas tulisan selama setahun, sungguh produktifitas yang payah. Tahun 2014 masih berlanjut meski hanya tiga belas tulisan. Payah.. payah.. payah.. Berarti satu bulan hanya satu tulisan. Dalam istilah agama Islam, orang yang harinya lebih buruk dari hari kemarin, dia adalah orang yang terlaknat.

Tapi sebenarnya wadah menulis saya di medsos tidak hanya di blog ini. Tahun 2013 akhir saya telah bergabung di kompasiana. Bahkan kalau ditotal, tulisan saya di kompasiana lebih banyak dari pada di blog ini.

Dan sekarang, Desember 2015. Target agar lebih baik dari tahun sebelumnya telah tercapai, meski ngebut di akhir. Tahun depan?? Who know??

Di akhir, semuanya membutuhkan waktu. Dan terkadang waktu itu sendiri sebagai alat pengukur nilainya. Termasuk belajar menulis di sini.

Tuesday, December 1, 2015

Belajar Menyukai

Sudah sangat lama aku tidak merasakan hal ini. Atau mungkin ini adalah kali pertamaku. Menyukai seseorang. Iya.. menyukai seseorang, lawan jenis, seperti cerita romance di tv. Cinta kah ini? aku tak tahu.

Mengapa? Karena baru kali ini aku merasa yakin kalau perasaan ini benar-benar ada. Biasanya banyak orang yang kusukai datang dan pergi. Tapi sesosok ini tertahan dalam kepalaku. Tepatnya dia telah mendekam di sana dua bulan.

Tidak pernah sebelumnya seperti ini. Internet yang kugunakan sekarang terasa lebih berarti. Sosmed yang kugunakan tidak lagi tanpa tujuan. Dan mata ini tidak lagi sibuk mencari-cari sosok untuk dilihat.

Hhhh.... menuliskannya di sini seperti merangkai angan-angan kosong. Tapi ke mana lagi ku sampaikan hal ini. Karena di blog inilah tempatku belajar. Belajar berbagi. Dan mungkin dengan perasaan ini juga aku akan belajar untuk menyukai seseorang, dalam artian benar-benar menyukainya.

Jikalau kuceritakan hal ini kepada orang-orang rumah, pasti akan terjadi kekacauan. Hahaha.. mereka pasti sudah membullyku. Meski Ibuku sudah sering berkata kalau sekarang adalah saatnya, dan pertama mendengarnya membuatku ragu. Tapi setelah adanya perasaan ini, mungkin benar, sekaranglah saatnya.

Sesekali dan sering kali kutengok ke belakang, belajar dari pengalaman. Tapi untuk hal yang satu ini, hanya terdapat halaman kosong. Yang mungkin sekaranglah waktu untuk mengisinya. Sedikit coretan kekhawatiran akan hal ini kukira wajar. Begitu dengan catatan penuh harapan.

Dan di ujung, Waktu lah yang akan bicara. Cepat atau lambat Dialah yang akan memutuskan. Dan di antaranya, hanya doa dan usaha yang bisa tercurahkan.

Adapun hal-hal kecil yang terjadi di sana.. itulah yang ku sukai, hal-hal kecil. Ku harap banyak hal di sana untuk kupelajari. Untuk ku insyafi. Dan untuk kuambil hikmahnya.

Sunday, November 29, 2015

Sepuluh Tahun (2)

Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung, masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya. Terlepas dari lamunan, aku menyadri harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut dan kehilangan banyak waktu. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua sempitan yang berputar-putar di dada beberap saat yang lalu menjadi lapang begitu saja, aku tidak tahu kenapa. Duduk di teras yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Meski di sini sangat damai dari pada di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kukaitkan kebali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang, kerena kupikir akan aneh jikalau bepergian jauh tanpa membawa apa-apa. Kembali ke tempatku semula, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga melakukan hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan enyah ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus yang akan mengantarkanku. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiya agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan yang ditujukan kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas di sini sudah tak terhitung, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini. Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Aku sendiri ogah untuk membuka tali-tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus. Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini. Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. Ketidaknyamanan menjadi alasan utama. Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana. Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal total, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti. Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan beberapa meter tanah berpaving yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..? Masih dipenuhi berbagai pikiran, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang dengannya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu. Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk membeli rokok untuk menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku, sepertinya masih belum bertambah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri. Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan. Bersambung...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-2_552e33dd6ea834f51b8b4646
Tulisan sebelumnya di sini

Semua orang bergerak dengan urusannya masing-masing. Aku masih merenung. Masih terbayang wajah dan senyuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Seharusnya aku tidak membuang kesempatan itu, kesempatan untuk mengenalnya.

Terlepas dari lamunan, kusadari waktuku tidak banyak, harus bergerak cepat supaya tidak terlalu larut. Sekarang pukul tiga lebih lima, kulihat ada musholla kecil tepat di belakangku. Kuputuskan berbalik mendatanginya. Untunglah aku masih memiliki pegangan yang satu ini. Keyakinan akan kebutuhan untuk beribadah.

Beberapa saat setelah kewajiban ini kutunaikan, ada kelegaan yang luar biasa. Semua kesempitan yang berputar-putar di dada beberapa saat yang lalu menjadi lapang begitu saja. Aku tak tahu mengapa. Duduk di teras musholla yang sunyi ini melupakan penyesalanku beberapa saat yang lalu. Tapi, meski di sini sangat damai, dibanding di luar sana yang dipenuhi keributan, aku harus bergegas. Kembali kukenakan sepatu usangku dan kusangklukkan kembali tas kosong yang sengaja kubawa sebagai penyeimbang. Kerena kupikir akan aneh jika bepergian jauh tanpa membawa apa-apa.

Kembali ke trotoar jalan, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Beberapa orang di sini kupikir juga berpikiran hal yang sama, ingin segera mendapat tumpangan dan pergi ke tempat tujuannya masing-masing. Hanya saja beberapa saat menunggu, belum juga kunjung datang bus arah jurusan yang kutuju. Masih berdiri, pikiranku berubah ketika melihat pedagang kaki lima yang menjual sandal bakiyak agak jauh di seberang jalan sana. Aku teringat pesanan orang kepadaku kemarin ketika kukabarkan perjalanan ini. Kuseberangi jalan dengan hati-hati karena kendaraan yang melintas sangat ramai, berbeda jauh dengan dulu. Jalanan kosong dari kendaran untuk satu menit saja tak mungkin dijumpai saat ini.

Ada banyak model bakiya yang tidak bisa kupastikan kenyamanannya karena tidak bisa kucoba. Karena aku sendiri ogah untuk membuka tali sepatu yang sudah kuikat erat tadi. Sedikit kebingungan, kupilih yang terlihat bagus meski aku tahu yang terlihat bagus belum tentu terasa bagus.

Segera ku palingkan tubuh dan melayangkan pandangan mecari bus yang harus kutumpangi. Seketika terbelalak melihat satu bus yang seharusnya kutumpangi telah melaju kencang. Aku terlambat. Kali ini aku benar-benar menyadari perkataan Pak Edward beberapa hari yang lalu kalau hal inilah salah satu dari sekian banyak hal yang membedakan negeri maju dan negeri berkembang. Di negeriku ini masih belum jelas jam keberangkatan dan pemberhentian bus-bus angkutan umum, apalagi di kota-kota kecil seperti di mana tempatku berdiri saat ini.

Helaan napas panjang menjadi satu hal yang tidak terelakkan. Waktu semakin senja, mendung dan hujan gerimis belum juga reda. Setelah menyebarangi kembali jalan, dan inilah hal yang paling sering membuat manusia-manusia mengeluh. Berdiri dan menunggu. Apalagi saat ini bisa dikatakan aku sedang menunggu ketidakpastian, kapan mereka akan datang..? itupun kalau mereka akan datang. Kucoba mencari tempat duduk tapi genangan air di sana-sini menyiutkan niatku. 

Masih berdiri dan menunggu, saat-saat seperti inilah waktu tepat untuk berpikir. Berpikir apa saja. Aku ingat beberapa saat yang lalu masih dalam kebingungan dan penyesalan, sesaat kemudian datang ketenangan, dan sesaat kemudian datang lagi kebingungan. Aku tersenyum lega dan menyadari kalau inilah hidup dan kehidupan. berarti setelah ini pasti akan datang lagi ketenangan meski belum kuketahui kapan dan di mana.

Silih berganti pikiran dan pemikiran yang masuk ke otak ini sejenak melupakanku untuk mengeluh. Terkadang senang dan bangga memikirkan semua hal yang telah kuraih meski tak seberapa. Terkadang optimis memikirkan harapan dan format masa depan. Terkadang menjadi murung dan menyesal mengingat beberapa target yang gagal, Sedih mengingat beberapa kejadian yang menimpa teman beberapa hari yang lalu, dan khawatir melihat beberapa tunggakan dan kewajiban yang masih belum terpenuhi, dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang seilih berganti.

Masih dalam penantian, kucoba untuk sedikit berjalan meninggalkan pavingan yang dari tadi kuputari. Meski tidak bisa dikatakan halte bus, tak tahu mengapa orang-orang sering naik dan turun dari bus di sini. Aku sendiri dari dulu sudah terbiasa melakukan hal ini di sini. Masih berjalan pelan, terlintas dalam pikiranku bahwa penataan dan pengaturan masyarakat dan aktifitasnya di negeriku tercinta ini dibutuhkan keseriusan. Apalagi masalah transportasi, benar-benar berantakan. Tapi sejenak kuputar pikiranku, ataukah masyarakat yang susah untuk diatur..?

Masih dipenuhi berbagai hal di kepala, aku berjalan beberapa langkah lagi agak menjauh sampai tepat di hadapan toko kaki lima seberang jalan yang karenanya aku menjadi seperti saat ini. Aku tidak menyalahkannya, tapi setelah kupikir-pikir bisa dibenarkan juga kalau ini gara-garanya. Ku perhatikan bapak setengah baya penjual toko tersebut menaruh cangkir berasap di meja depannya dan satu tangannya memegang rokok. Asap mengebul dari mulut dan rokonya. Aku membayang betapa enaknya di saat ceperti ini, mendung dan gerimis di sore hari dengan santapan seperti itu.

Sejenak terlintas untuk menyeberang ke toko kecil samping toko tersebut untuk ikut menghangatkan tubuh. Tapi kejadian beberapa saat yang lalu menghantuiku, aku khawatir kehilangan bus untuk kedua kalinya sedangkan jam di hpku kuperhatikan sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Berarti sudah hampir satu jam aku terdampar di sini. Kuputuskan untuk terus berjalan, sedikit menoleh kebelakang terlihat beberapa orang yang menunggu kedatangan bus seperti diriku tidak banyak berubah. Jalan pun masih dipenuhi kendaraan pribadi, masih tak tampak akan kedatangan bus yang akan datang dan berhenti menghampiri.

Memang benar harus sabar. Terjebak dalam kondisi seperti ini hanya akan mengeluarkan keluhan jika tidak dicoba untuk berpikir positif. Meski dingin merayap sekujur tubuh, Ku singsingkan lengan panjang bajuku yang menjulur kebawah tak beraturan.

Bersambung di sini

Saturday, November 28, 2015

Sepuluh Tahun (1)

Kulihat sekilas jam tangan yang hampir tertutup baju lengan panjang orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini. Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis seakan tak mau berhenti di hari-hari ini. Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku ini meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala mengacuhkannya dan juga memjamkan mata, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati. Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu. Hanya seutas senyummu. Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, mungkin akan sangat menyenangkan bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti. Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasan bus yang baru selesai kududuki. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung tak karuan dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar seakan-akan menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan. "Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil ingin memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan pandangannya kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya. Bersambung..

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-1_552adfda6ea8342221552d05
Kulihat sekilas jam tangan yang hampir tertutup baju lengan panjang orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini. Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis seakan tak mau berhenti di hari-hari ini. Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku ini meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala mengacuhkannya dan juga memjamkan mata, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati. Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu. Hanya seutas senyummu. Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, mungkin akan sangat menyenangkan bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti. Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasan bus yang baru selesai kududuki. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung tak karuan dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar seakan-akan menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan. "Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil ingin memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan pandangannya kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya. Bersambung..

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-1_552adfda6ea8342221552d05
Kulihat sekilas jam tangan yang hampir tertutup baju lengan panjang orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini. Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis seakan tak mau berhenti di hari-hari ini. Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku ini meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala mengacuhkannya dan juga memjamkan mata, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati. Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu. Hanya seutas senyummu. Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, mungkin akan sangat menyenangkan bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti. Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasan bus yang baru selesai kududuki. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung tak karuan dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar seakan-akan menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan. "Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil ingin memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan pandangannya kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya. Bersambung..

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/terimakasih/sepuluh-tahun-1_552adfda6ea8342221552d05
Kulihat sekilas jam tangan yang sedikit tertutup lengan panjang baju orang di sampingku menunjukkan pukul tiga sore. Kukembalikan pandangan keluar jendela tepat melewati muka cantik berkerudung yang sudah hampir tiga jam ini duduk di sampingku. Berarti sudah selama itu kami duduk berdampingan tanpa suara. Sebenarnya banyak yang bisa diisi untuk waktu selama itu. Sering ingin kumulai sedikit percakapan kecil yang bisa mengisi perjalanan ini, tapi setiap melihat wajahnya yang seakan berkata tidak ingin diganggu, membuatku lebih sering membatalkan niatan ini.

Hampir tiga jam aku hanya bisa terduduk diam di dalam bus ini, rasa penat sering kucoba melupakannya dengan tidur, tapi tak tahu mengapa mata ini tak kunjung terpejam. Ingin sesekali berdiri menawarkan tempat dudukku pada beberapa perempuan tua yang berdiri tidak mendapati kursi kosong. Tapi kesempatan itu tak kunjung datang. Praktis hanya duduk diam dan sebagai gantinya, memandangi segala sesuatu yang tergeser ke belakang yang terjadi di balik jendela sana. Tampak beberapa genangan air bekas hujan, langit pun masih tak sudi untuk berhenti mencurahkan air. Mendung dan gerimis telah menjadi kebiasaan di hari-hari ini.

Sering kusempatkan menatap wajah sendu yang memisahkanku dengan jendela terdekatku, meski dia tak pernah dia menatap balik kearahku. Sesekali kuperhatikan dia memperbaiki kerudungnya, akupun bertanya-tanya kepada diri sendiri, "apakah dia terganggu dengan tatapanku..? ataukah dia yang kegeeran yang memang merasa dirinya cantik yang memang selayaknya diperhatikan seorang pria..? Tidakkah lehernya kelu selama hampir tiga jam terus-terusan menoleh ke samping kirinya..?" Mungkin dia ingin menghindari kontak mata denganku. Tapi apakah harus selama itu..? pernah sesekali kucoba untuk memutar kepala dan tak mengacuhkannya, tapi yang kusadari selama hampir tiga jam ini, hanya menunduklah satu gerakan kepala yang dia lakukan sebagai ganti tolehan kapalanya tersebut. Mungkin dia benar-benar capek menoleh ke kiri dan benar-benar tidak mau membalikkan wajahnya ke arahku..? aku hanya bisa tertawa dalam hati.

Keperhatikan semua orang sedang bersiap-siap untuk pemberhentian terahir ini. Tas, kardus, koper, kresek semuanya dalam genggaman yang punya. Dia yang disampingku pun mulai menarik-narik tas tangan kecil yang dia selipkan di bawah kursi, dan sesekali melihat ke atas, sebuah tas yang agak besar yang dia taruh pertama kali ketika masuk bus ini. Kutawarkan diri untuk mengabilkan tas tersebut, dia tersenyum manis mengangguk disusul dengan ucapan terima kasih. Oh... mengapa tak kau tampakkan senyum ini tiga jam yang lalu, senyum yang selalu kuragukan akan keluar dari wajah cantikmu.

Bus berhenti, para penumpang mulai turun. Sengaja aku mundur kebelakang sedikit setelah keluar dari kursi untuk membiarkan si pemilik seutas senyum ini berjalan lebih dahulu di depanku. Ketika memperhatikanku melakukan hal ini, aku melihat matanya yang tak sempat kuperhatikan beberapa saat yang lalu saat dia tersenyum. Mungkin saat itu aku sedang sibuk dengan beberapa lekukan kecil yang ada di pipinya. Tapi kali ini, mata kami bertemu. Beberapa saat kami terdiam, dia langsung menghindar dan berjalan cepat menuruni bus. Aku berjalan di belakangnya, meskipun bisa dibilang, akan sangat menyenangkan jika bisa berjalan di sampingnya suatu saat nanti.

Hhhhhhh... Kutarik nafas dalam-dalam, udara segar terasa di sini, bertolak jauh dengan suasana bus yang baru kutinggalkan. Kurenggangkan badan, melemaskan otot-otot yang telah terkurung untuk bergerak bebas. Kupandangi langit masih mendung dengan sedikit gerimis. Setelah bus yang kutumpangi pergi menjauh kepangkalannya, Mataku berputar mencari sosok yang sudah tiga jam tadi duduk disampingku. Dia berada sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. Dia berdiri di garis trotoar menunggu seseorang. Baru kusadari keanggunannya ketika dia berdiri tegap dengan kerudung putihnya yang memanjang. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tas tangan, dan tas besar yang tidak begitu berat yang sempat singgah di jemariku sekarang bersandar nyaman dipundaknya. Sangat menyenangkan menyaksikan pemandangan sejuk ini. Dia beridiri sendirian di antara gerimis hujan.

"Cewek..." terdengar suara wanita setengah baya dari jendela mobil yang datang pelan menghampirinya. Seketika hilanglah kesejukan ini. Dia tersenyum cemberut mendapati wanita tersebut keluar dari mobil dan memeluknya. Sedikit percakapan diantara mereka yang tidak kudengar. Si wanita tua membukaan pintu belakang mobil, dia masuk mobil kemudian disusul wanita tersebut. Pintu mobil ditutup dan segera menjauh menghilang. Sebenarnya aku yakin beberapa saat sebelum masuk mobil tersebut, dia akan memutar pandangan dan mungkin akan melayangkan sedikit tatapan kepadaku. Tapi semuanya terjadi begitu cepat, aku telah menyaksikan semuanya. Aku hanya bisa melihat semuanya.

Bersambung di sini