Sunday, December 13, 2015

Sepuluh Tahun (4)

Tulisan sebelumnya di sini

Beberapa saat yang lalu aku seperti berdiri di antah-berantah. Orang-orang asing tak kukenal. Gerimis dengan langit abu-abu kelam terus membayangi. Sesekali kilatan cahaya langit menggetarkan mata. Keringat dan tetesan air langit tak bisa dibedakan. Aku berdiri linglung menatap jalan lurus yang memecah pertigaan ini.

Tapi saat ini, saat kupandang laut luas di depanku. Semua kekhawatiranku hilang. Laut luas ini seakan mengajariku untuk tenang. Ketenangan dengan memendam jauh ke dalam semua kotoran-kotoran pikiran. Mengkaramkan sampah-sampah yang menumpuk di hati. Mengingat permukaan indah nan tenang sebagai hiasan hidup yang menghidupi umat manusia. Terasa dalam relung hatiku sesuatu yang merenyuh dan menggetarkan jiwa.

Masih berdiri di tepi trotoar pemisah jalan raya dan laut ini. Sembari terus berpikir tentang berbagai filosofi laut yang keluar-masuk pikiran, kuputuskan mengiringinya dengan menyisir trotoar ini, sekaligus mendekatkanku dengan tempat tujuan walau hanya beberapa langkah.

Tiba-tiba sesumbar suara mesin bus mendekat bersama teriakan kondekturnya. Bus datang pelan dari kanan belakangku. Aku menoleh girang, tapi sejenak kuputar tolehanku kembali kelaut luas dan kusapu pandangan ke trotoar lurus di depanku. Ku lihat jam hp menunjuk angka 16.40. Aku tahu mereka membutuhkan jawaban 'ikut atau tidak'. Sejenak kupikir, kepalaku sontak memutuskan untuk menggeleng dan kuberi mereka tanda untuk tidak perlu berhenti. Dan mereka melaju meninggalkanku.

Aku tersadar dan memang inilah keputusanku. Aku ingin menikmati jalan yang kupijak ini. Karena ketika kupandang laut luas ini, timbul perasaan 'aku masih ingin bersamanya'. Karena aku yakin, mereka, bus-bus ini akan datang lagi untuk menjemputku. Tapi perasaan ini tidak.

Aku tak tahu akan berapa lama dan berapa panjang perjalanan ini. Tapi akan kucoba menikmatinya setiap detik dan jengkalnya.

Kurasakan air mulai merembas naik di ujung celana jinsku. Untung aku mengenakan kaos kaki pendek sehingga tidak merembas dan telapak kaki masih hangat dalam sepatu yang telah kuikat kencang. Kususuri trotoar lurus berkeramik berwarna merah dan orange ini seorang diri. Sore semakin kelabu dengan mendung, gerimis dan kilatnya. Juga gemuruh gelombang ombak kecil tiada henti di sebelah kiriku. Kumasukkan kedua talapan tangan di saku celana. Terus berjalan.

Bising suara kendaraan bermotor di kananku bertolak belakang dengan deburan ombak-ombak kecil di kiriku. Mungkin orang-orang sedang dalam perjalanan pulang kantor. Ingin cepat-cepat sampai rumah menghangatkan diri bersama keluarganya. Angan untuk iri kepada mereka kembali muncul tapi langsung kutepis, 'aku di sini bukan untuk berangan-angan kosong, aku di sini untuk menikmati semua yang ada di depanku'.

Sejurus ada pohon besar rindang di depanku. Pohon ini mencongkel beberapa kotak keramik yang sudah tertata rapi. Atau mungkin pohon ini sudah berdiri kokoh lebih dulu sebelum pembangunan trotoar rapi berkeramik ini. Di bawahnya ada tiga anak muda yang masing-masing memegang gitar, kentrung dan kendang. Mereka para pengamen berteduh dari rintik gerimis. Kupercepat langkah, karena kurasakan rintikan gerimis semakin deras. Aku ikut berteduh bersama merek

Mereka melihatku. Setelah terdiam sejenak, kudengar mereka melanjutkan obrolan dan candaan dengan bahasa kasar. Aku mengerti bahasa mereka tapi semenjak kutinggalkan rumah untuk mengejar impian, telingaku menjadi risih mendengar kata-kata kasar ini. Tak kuacuhkan mereka, berbalik dan berkacak pinggang, kusapu kembali pandangan ke laut luas ini.

Di ujung sana, ketika laut bertemu langit, tampak garis lurus horizontal meneduhkan pikiranku. Jauh lebih teduh dari rindang daun pohon di atasku saat ini. Aku seakan melihat Tuhan dengan segala ciptaanNya yang sempurna. Tak pernah terbersit dalam pikiranku pertemuan antara dua hal yang jauh membentang ini. Mereka kokoh dengan hamparannya masing-masing, tapi saat ini aku menyaksikan pertemuan ini. Pertemuan mereka, langit dan laut.

Ku renungi hal ini dalam-dalam. Dan akhirnya mengerti bahwa sejauh apapun titik tolak perbedaan yang memisahkan dua hal, akan selalu ada titik temu yang akan mengindahkan keduanya. Titik temu ini akan berbias dengan ketentraman semua hal yang ada di sekililingnya. Dan aku merasakannya saat ini.

Dalam penghayatanku yang dalam, suara kasar mengagetkanku, "Mas.. mau kemana?" salah satu dari anak-anak muda pengamen di belakangku menegur. Aku sedikir terperanjak mendengarnya. Hilang semua hasil-hasil buah pemikiranku beberapa detik yang lalu.

"Tidak ke mana-mana, hanya jalan-jalan" jawabku agak ragu sembari berbalik menghadap ke mereka. Aku berbohong pada mereka.

"Ohh.. mau pacaran ya? lagi nungguin siapa nih?" Sela yang lain dari mereka memberondong pertanyaan.

"Tidak nungguin siapa-siapa, cuma ingin jalan-jalan sore saja" jawabku pelan. "Jalan dulu ya?" kusambung sekedar basa basi meniggalkan mereka. Mereka kali ini berbalik tak mengacuhkanku. Aku pun langsung beranjak pergi dari bawah pohon ini. Sesekali kudengar obrolan kecil di antara mereka tersambung kembali setelah beberapa langkahku telah menjauh dari mereka.

Hmm.. anak jalanan.

Ku sambung kembali pikiran-pikiranku tentang laut. Kali ini sambil terus berjalan, ku arahkan pandanganku ke sebelah kiri. Aku tak tahu laut ini sedang pasang atau surut, atau mungkin di antara keduanya. Pantai pasirnya kotor, sampah plastik di sana sini. Tapi saat ini, perhatianku lebih banyak tertuju pada ujung laut yang bertemu dengan langit mendung abu-abu. Aku berandai-andai, jika tidak mendung, mungkin awan jingga bisa kujumpai menambahkan keindahan ciptaanNya ini.

Masih dengan rintik gerimis kecil. Ku rapikan lipatan lengan panjangku yang sudah tidak beraturan. Berjalan gontai, kuayuhkan kedua tanganku. Kurasakan hembusan udara di sela-sela jemari. Ku tatap langit, tak henti-hentinya curahan tetes air menyentuh rambut, kulit, dan pakaian yang kukenakan. Meski sudah tidak sederas beberapa jam yang lalu, tapi setiap tetesnya masih terasa. Seperti ada sentuhan-sentuhan kecil memijatku dengan sejuk. Tampaknya rasa khawatirku sudah hilang tak berbekas.

Teringat kata bijak yang pernah kubaca, "akan sangat merugilah orang yang hanya mendapat basah ketika kehujanan". Sepertinya sore ini aku sedang beruntung.

Bersambung

No comments:

Post a Comment