Thursday, March 26, 2015

Harum

Di sana ada sebuah mesjid yang berdiri tegak. Langit-langitnya putihnya lebih tinggi dari kebanyakan masjid di Indonesia. Kubah bulatnya yang putih, dalam dan luarnya, terkadang aku menyayangkannya. Kubah putih luarnya tak mengapa, tetapi yang di dalam. Ini setelah dulu aku pernah ikut pembangunan sebuah masjid. Aku menyadari andilku saat itu sangat sedikit, tapi aku memperhatikan banyak, Sangat banyak.

Waktu itu masa pengecoran kubah sudah selesai. Tapi bambu-bambu penyangga masih dibiarkan meski corcoran sudah tampak kering. Sempat bingung saat itu. Pikiranku bambu-bambu ini langsung dibersihkan. Kemudian diteruskan dengan pemasangan keramik atau apalah setelahnya. Tapi pikiranku salah kaprah. Bambu-bambu tetap dibiarkan.

Pertama yang dilakukan yaitu pengmabilan triplek-triplek melengkung alas pengecoran kubah. Setelah tampak abu-abu melengkung paduan pasir dan semen yang menggantikannya. Keesokan harinya seorang kawan membaya peralatan lukis dan gambar ukuran besar. Dia bersama kawannya yang tidak begitu kukenal naik memanjat bambu-bambu tegak itu. Mereka menggambari lengkungan abu-abu itu ornamen dan kaligrafi. Suatu ornamen yang tidak jelas jika dipandang dari bawah saat itu karena masih tertutup persilangan bambu yang saling menegakkan.

Kalau tidak salah, hampir satu bulan penuh mereka berdua atau bertiga dengan kawannya yang satu lagi menggambarnya. Ketika bambu-bambu itu diruntuhkan dan dipinggirkan, wow.. indah. Sangat indah. Tak jemu mata memandangnya. Aku bertanya-tanya saat itu dan seterusnya “bagaimana perasaan mereka bertiga setelah ini?”

Setelah itu, setiap masjid yang kusinggahi, tak luput mataku menatap atasnya. Menatapa lengkung kubahnya. Ada yang masih putih ada juga yang lebih indah. Ada lagi yang jauh lebih indah. Tak hentilah mulut ini bertashbih kerananya. Manusia saja bisa membuat keindahan seperti ini, apa lagi Yang Maha Indah..!

Tapi apalah arti keindahan itu kalau berdiri atas kemunfikan. Yang kelak akan membawa bahaya bagi kita. Aku sangat berharap mereka-mereka yang membangunnya benar-benar atas pondasi hati yang tulus ikhlas.

Dan saat ini, setiap pandangkau merayap ke kubah putih ini, aku tak bisa menghitungnya tak yang jelas ada banyak sekalli burung-burung yang mengitarinya. Pun aku tak tahu jenis burung itu, kecil seperti burung pipit, tapi saat kutanya temanku, dia bilang kalau itu bukan burung pipit. Burung-burung ini terkadang membawaku ke angan masa kecil dulu, kupilih satu di antaranya. Kujadikan jagoan ketika mereka terbang, mana yang lebih cepat dan paling cepat di antara mereka. Tapi karena mereka tidak memiliki lintasan yang jelas, belok kanan kira tak jadi masalah. Masalah itu di tanganku, “yang mana yang jagoanku…? hilang entah kemana..?”

Panas di sini tak terasa, padahal terik terus menyengat. Okelah.. dari pada bermandi keringat, kusinggah ke sana, di bawah kubah putih itu. Eh.. di sini saja, di teras. Keramik putih, tiang putih, dinding putih, hanya kusen jendela dan pintu yang coklat.

Wah.. Teduh di sini. Tiga anak tangga teras jadi tempat duduk ternyaman. Seingatku tak pernah senyaman ini. Andaikan ada kawan yang bisa kuajak ngobrol di sini, pasti sangat menyenangkan.

Tapi kebosanan itu akhirnya ada. “Kenapa tak baringkan tubuh..?” Berbaring terlentang menatap putih langit-langit masjid. Mataku bergesar ke biru langit sungguhan. Memang benar.. Dia Yang Maha Indah. Kalau tidak karenanya mana mungkin ada keindahan seperti yang kutatap saat ini. Langit.

Diam..

Langit.. Di Quran kata langit kebanyakan berbentuk plural sedangkan kata bumi setelahnya kebanyakan hanya disebut sekali. Mungkin kita disuruh memandanginya lebih banyak daripada memandangi bumi ini. Aku tak tahu.

Sekarang terbersit teka-teki aneh di otakku, “di manakah kau bisa leluasa memandang langit biru dengan tidur terlentang tanpa terkena panas sinar matahari..?” Di taman kampus, tak mungkin, malu diliatin banyak orang. Di teras rumah, aha gak leluasa pasti bokap bentar-bentar akan manggil. Di trotoar, ihh.. disangka orang gila entar. Di gubuk sawah tempat petani berteduh, ehm.. mungkin kalau sendirian. Ya di sini ini.. teras masjid. Eh.. tidak hanya di sini, masjid yang itu juga bisa. Yang di sono juga bisa. Yang di Surabaya juga bisa, Yang di Solo juga bisa. Yang di Makasar juga bisa. hahaha..

Sebentar lagi jam tiga, waktunya sholat ashar. Sejuk angin yang menghembus di sini membuatku tak ingin beranjak. Sungguh..! sungguh sangat harum.

No comments:

Post a Comment