Thursday, March 26, 2015

Payah

Setiap kali cahayanya masuk ke mataku, cahaya-cahaya lain terasa kabur. Fokus otomatis dan selainnya blur. Tapi hanya sebatas pandangan. Dia di sana dan aku masih di sini.

Hari ini aku berjalan melewati kantornya. Pintu setengah terbuka. Kupicingkan mata dan sekejap terlihat kerudung putih dan kaos blus merah muda lengan panjang berjalan menjauh membelakangiku. Hatiku berdebar. Aku tidak melihat mukanya tapi aku merasakannya.

Nama belum tahu. Alamat, nomor telepon apalagi. Mendengar suaranya pun aku belum pernah. Berkenalan? itulah kesempatan yang kutunggu. Dan hampir sepuluh bulan kesempatan itu belum juga datang. Mungkin akan kutunggu dua bulan lagi supaya genap satu tahun. Jika belum juga ada kesempatan, akan aku coba langsung mendatanginya dan berkata, “hai.. boleh kenalan ga?”

Tapi bagaimana kalau dia sudah menikah? ya mungkin aku harus terpaksa menunggu salah satu dari kalian para wanita datang lagi ke kehidupanku. Dan harus bersabar dan bersabar lagi. Karena nasehat yang selalu kudengar kalau sabar adalah satu sikap yang paling mulia. Aku tak tahu apakah sabar seperti ini yang dimaksudkan.

Pagi menjelang siang seperti ini adalah rutinitas yang paling membosankan. Di mana beberapa pekerjaan kantor sudah mulai beres dan semangat mulai turun. Dua jam menunggu waktu makan siang membuat pikiranku jemu dan tidak produktif. Karena hanya satu hal yang ada di sana, si dia.

Terkadang ada lamunan apakah hal yang dia sukai? adakah sama dengan yang kusuka. Terkadang terlintas bagaimana keadaan keluarganya? orang tua, adik atau kakaknya mungkin? Atau terkadang masih terngiang bagaimana pertama kali aku melihatnya. Mungkin inikah yang disebut sebagai pemuja rahasia yang maksudkan Sheila on 7.

Pertama kali melihatnya, Aku teringat saat itu ketika di komplek parkiran, karena aku sudah hampir tiga tahun bekerja di sini, hampir semua kendaraan orang-orang yang bekerja di sekitar sini sudah kukenal meskipun tidak pemiliknya. Tapi tampak dari jauh terlihat mobil yang sama sekali belum pernah kulihat. Lalu keluar seorang perempuan. Tidak begitu jelas karena jarak sekitar tiga puluhan meter. Aku mendekat bukan karena ingin tahu, tapi karena itu adalah arah ke kantorku. Dia berjalan balik ke arahku, tapi tentu saja bukan karena ingin mengetahuiku tapi itu adalah arah ke kantornya. Di satu titik mataku menganga menatapnya. Satu hal terbersit adalah wajahnya sangat teduh. Apalagi saat itu dia berjalan menunduk.

Dan setelahnya kesempatan seperti itu sangat jarang terjadi karena terkadang aku kesiangan atau dia yang terlalu pagi. Atau juga sebaliknya. Kalaupun tidak seperti itu, dia pasti berjalan bersama teman-teman sekantornya yang tak satupun juga kukenal.

Ibuku pernah berkata kalau aku payah dalam bersosial. Mungkin ada benarnya, karena memakai media sosial pun kurasa belum pernah berhasil. Teman kantor hanya teman di kantor, hanya untuk perkerjaan. Teman kuliahku, entahlah.. mereka serasa menghilang ditelan bumi. Apalagi teman SMA. Dan dari film yang kutonton atau buku-buku yang kubaca, hampir semuanya berkesimpulan orang yang tidak pandai bersosial akan banyak menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Mungkin iya, tapi pada satu titik aku bahagia. Adakah kesalahan memilih kebahagiaan dengan cara seperti ini?

Jam 11.30, satu jam lagi waktu makan siang dan istirahat. Mejaku sudah bersih dengan dokumen-dokumen kantor. Bos juga tampaknya lagi baik moodnya. Biasanya waktu seperti ini kugunakan untuk membaca buku, kalau tidak membaca beberapa isu-isu yang beredar.

“Krek… Assalamu’alaikum..”. Astaga.. si dia masuk ke kantorku. Hatiku serasa mau pecah.

“Pak Andi ?”

Aku berdiri tergagap mengiyakan, jatungku berdetak sepeti kalah satu detik oleh pemenang perunggu kejuaraan lari maraton.

“Bisa minta tolong fotokopikan beberapa dokumen ini” Dia menunduk menyodorkan beberapa lembar kertas.

Mengapa aku? aku baru teringat kalau jam-jam segini resepsionis selalu melemparkan tamu atau beberapa pekerjaan tambahan kepadaku. Mungkin sudah diketahui kalau jam segini adalah jam kosongku.

“Iya-iya.. silahkan ikut saya!” aku masih tergagap. Pikiranku tidak jelas memberi keputusan mana dulu yang harus ku lakukakan. Berjalankah? minta dokumennya kah? memanaskan mesin fotokopinya kah? menanyakan berapa yang kebutuhannya kah? mencium parfumnya kah? Atau tersenyum dahulu kah?

Baru kusadari dia tidak hanya memiliki wajah yang teduh. Ternyata dia sangat cantik. Mungkin itulah yang membawa keteduhannya. Dia diam berdiri menunggu di belakangku. Aku bingung antara ikut diam atau memulai obrolan. Kuputuskan memulai obrolan. Dan bodohnya, kepalaku membeku bingung apa yang harus kutanyakan.

Fotokopi selesai. Kuserahkan hasilnya. Dia tersenyum berterima kasih, kemudia pergi. Hatiku yang dari tadi terbang ke angkasa tiba-tiba jatuh kembali ke daratan menyadari dia menghilang dibalik pintu. Aku berjalan di belakangnya dan kembali ke mejaku. Payah.. payah.. payah.. dalam benakku. Kusalahkan, kubodohkan diriku dalam hati.

Hmm… Aku duduk termenung.

Esok masih ada. Semoga aku masih hidup dan dia pun juga begitu. Besok aku harus berangkat lebih pagi dan mencobanya. Apapun hasilnya harus kucoba. Tapi ini adalah ikrar yang sama yang kesekian kalinya kuucapkan. Semoga besok benar-benar bisa kulakukan.

Bersambung di sini

No comments:

Post a Comment