Tulisan sebelumnya di sini
Lima hari yang lalu, sebuah berita duka berhembus.
Atau berita menyeramkan. Atau berita yang tepatnya tidak ingin kudengar.
Si dia telah menikah dengan teman sekantornya. Dia yang tak kuketahui
namanya setelah hampir satu tahun menjadi pemujanya.
Kantor
berjalan seperti biasa. Kudengar hanya bosku orang yang mendapat
undangan di kantor ini. Syukurlah aku tidak diundang. Tapi.. mengapa
juga dia mau mengundangku? Mungkin sebagai ucapan terima kasih atas
bantuanku beberapa minggu yang lalu. Memfotokopikan beberapa dokumennya.
Tapi kurasa itu tidak mungkin.
Aku
belum tahu bagaimana rasanya menikah. Tapi yang setahuku orang setelah menikah
akan melakukan bulan madu. Atau apalah namanya, suatu liburan untuk
merayakan pernikahan mereka. Tapi kalau tidak salah kemarin aku sekilas
melihatnya di kantornya. Tidakkah dia melakukan ritual tersebut?
Melihatnya
kemarin, meskipun hanya sekilas membuat hatiku retak. Inikah patah
hati? Mungkin iya. Umurku sebentar lagi kepala tiga. Dan kuingat, dalam
kurun lima tahun terakhir ini, mungkin hanya dia lah yang menarik
hatiku. Yang dapat menyita lamunanku. Hhhh... Kadang kutertawakan
keadaan diriku yang seperti ini.
Untuk
masalah yang satu ini, apakah aku harus harus dijodohkan? itu adalah
opsi terakhirku. Perjodohan dengan seseorang, yang mungkin bisa saja pandangan pertama kepadanya adalah pada hari pertunangan. Aaah.. itu terlalu jauh bagi saat ini.
Dan sampai saat itu, tampaknya aku harus
menghindari si dia ini. Di lobi, komplek perkantoran ini, di caffee samping
jalan, dan pastinya di tempat parkir. Mataku harus kuhindarkan darinya.
Karena terbersit sebentar saja tentangnya membuat perutku sakit, apalagi melihatnya.
Pagi ini tadi, kepalaku seperti mau pecah memikirkan masalah batinku dengan
wanita ini. Sempat kutakutkan dan kutanyakan pada diriku, apakah
sisa-sisa setiap pagi kehidupanku akan terus-terusan terasa seperti ini?
Sepertinya aku harus segera pindah tempat kerja. Memulai kehidupan
baru.
Untungnya setengah hari ini kantor
berjalan normal. Kesibukanku berhasil melupakannya. Jam makan siang
dan istirahat kali ini terasa berbeda. Mungkin karena langit telah kembali biru setelah berhari-hari mengguyur bumi dengan hujan. Ingin kunikmati pemandangan di luar seperti ini lebih lama. Belajar memahami yang ada di alam bebas dengan fikiran positif. Tapi ketika kulihat jam tangan, kusadari aku harus kembali ke kantor dan menyelesaikan sisa hari.
Bukannya aku tidak berani sedikit nakal atau bahkan bolos. Hanya saja pesan Ibu ku dari dulu adalah agar selalu menjadi orang yang baik, dan mungkin itu bisa kucapai dengan menjadi pegawai yang baik. Kalaupun tidak cukup baik, paling tidak menjadi pegawai yang tepat waktu.
Meja yang sama selama hampir tiga tahun ini telah menungguku. Dingin ruangan ber AC telah menanti tubuhku yang hangat. Dan kursi ini... Ah, bisa mendudukinya saja telah menjadi kesyukuran dibandingkan dengan mereka yang masih di jalanan di bawah terik matahari. Hembusan nafas panjang mengakhiri perhitunganku tentang hal-hal sekitar yang selama ini telah bersamaku.
"Krek..
Assalamu'alaikum" Astaga si dia masuk ke kantorku. Padahal baru sepuluh
menit yang lalu ku yakin kalau keadaan batinku akan tenang.
"Pak
Andi.. Bisa minta tolong fotokopikan beberap dokumen ini?" Kata-kata
yang sama beberapa minggu yang lalu. Resepsionis mungkin sengaja ingin
menyiksaku.
"Oh.. iya.. silakan ikut saya!" Untung aku berhasil menenangkan diri.
Di tempat yang sama. Tapi kali ini dia berdiri disampingku. Kulihat cincin di jari manisnya ketika kuminta dokumen yang akan difotokopikan.
"Maaf
merepotkan, fotokopi kantor rusak lagi" Dia terdengar manis. Suaranya
halus. Dan tentu saja tidak ada berubah dari kecantikannya yang baru
kusadari beberapa minggu yang lalu.
"Iya.. ga apa-apa kok" Kujawab biasa. Ingin sekali kutatap matanya. Tapi mengapa terasa sangat berat.
Fotokopi selesai. Ku serahkan hasil fotokopian.
"Maaf ya sekali lagi.. merepotkan.." dia mengecek hasilnya. "Terima kasih banyak ya.." dia tersenyum.
"Iya.. sama-sama" Akhirnya sekilas aku berhasil menatap matanya. Dia menunduk dan pergi.
Dari tatapan itu, akhirnya baru kusadari betapa bodohnya diriku.
Dia telah menjadi isteri orang. Dia telah berkeluarga. Dia bukan lagi si dia yang dulu. Dia telah menjadi orang lain.
Dia
memang cantik seperti kemarin atau setahun yang lalu atau tiga minggu
yang lalu. Tapi ada yang berbeda darinya saat itu. Tak lagi kurasakan
keteduhan di matanya. Dia telah menjadi wanita lain. Dia sekarang
seperti mereka, wanita-wanita yang ada di muka bumi ini.
"Mbak Desi.. Mbak tadi siapa namanya?" aku bertanya ke resepsionis
"Hayoo...?" Mbak Desi tersenyum menggodaku.
"Lha.. kenapa?" Kucoba menatap wajahnya. Tapi kacamatanya yang membuatku silau.
"Itu tadi Bu Lusi, dia sudah menikah lho Pak Andi!! " Dia menjawabku kembali dengan nada menggoda
"Oh.. terima kasih" Kujawab dengan senyum. Ku sandarkan diriku ke meja resepsionis dan memandang pintu dan jalan keluar kantor.
Aku
rasa aku bisa tenang sekarang. Satu tahun mengejarnya. Mungkin lebih
tepat mengintainya. Setidaknya aku mendapatkan satu hasil, yaitu namanya.
Terkadang
wanita datang dan pergi. Mungkin mereka juga berpikir seperti itu. Dan
kupikir aku tak perlu memaksanya untuk bertahan menetap, untuk tidak
pergi. Aku yakin Tuhan telah merencanakan sesuatu. Wanita yang tepat di
waktu yang tepat yang akan tinggal menetap. Wanita yang matanya
memberikan keteduhan setiap kali kumandangnya
No comments:
Post a Comment