Alquran sebagai kitab petunjuk bagi umat Islam
harus dipahami dengan benar sehingga petunjuk yang didapatkan darinya sesuai
dengan yang digariskan. Oleh sebab itu penafsiran terhadap Alquran telah
dilakukan oleh mulai dari zaman sahabat sampai sekarang. Berbagai upaya
dilakukan untuk mengetahui kandungan-kandungan yang tersimpan di setiap
ayatnya.
Alquran yang berbahasa Arab
tentunya hanya bisa dipahami dengan kemampuan berbahasa arab. Sedangkan untuk
masyarakat muslim Indonesia tidak banyak
yang memilikinya. Maka secara praktis pemahaman mereka terhadap alquran banya bergantung
pada terjemahan-terjemahan Alquran yang telah dicetak dan diterbitkan.
Mulai pertengahan abad ke-20,
beberapa tafsir Alquran berbahasa Indonesia dirasa mulai dibutuhkan oleh masyarakat
mengingat terjemahan Alquran tidak lebih hanya sebagai pembantu pemahaman arti per
kata atau kalimat. Sedangkan isu-isu kemasyarakatan terus berkembang dan
membutuhkan jawaban. Maka tersusunlah beberapa karya tafsir berbahasa Indonesia
di antaranya, Tafsir An Nur karya Dr Hasbi AsSyidqi, Tafsir al Azhar karya Buya
Hamka, dan yang paling terbaru Tafsir al Misbah karya Prof Dr Quraisy Shihab. Tafsir-tafsir
terbut setidaknya menambahkan kahzanah wawasan Alquran di Indonesia.
Satu kisah yang patut dikenang
adalah proses tersusunnya Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka. Beliau menjadi
salah satu korban totalitarisme orde lama masa yang mana membuat beliau
dijebloskan di penjera karena fitnah yang dibuat-buat. Di balik jeruji besi
tersebut beliau mendapat kesempatan untuk melanjutkan lembaran-lembaran yang
telah tersesusun sebelumnya mengenai penafsiran alquran. Kepadatan kegiatan
dakwah memaksa pecahnya konsenstrasi dalam penuntasan karya tersebut, sehingga
kesenggangan waktu di penjara tersebut beliau manfaatkan untuk hal ini.
Dua tahun setengah (1964-1966)
adalah masa yang di mana proses cita-cita luhur itu dijalani. Dan setelah
beliau dibebaskan, beliau baru mengumpulkan dan mengoreksi kembali hasil dari
penafsirannya. Dan akhirnya terbitlah Tafsir AlAzhar cetakan pertama dengan
lima belas jilid yang mana setiap jilidnya terkandung dua Juz Alquran.
Metode yang beliau terapkan dalam
penafsirannya adalah sebagai mana metode yang diterapakan oleh para Mufassir
zaman modern ini yang dengan corak kemasyarakatan (ijtima’i). Adapun
cara yang beliau terapkan adalah dengan mengumpulkan beberapa ayat yang
mengandung satu tema, kemudian menfsirkannya secara keseluruhan terlebih dahulu
setiap ayatnya, dan kemudian baru membeberkan penafsiran yang detail dengan mendalam
tentang tema yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Dan terkadang di akhir
satu tema terdapat beberapa catatan khusus dari beliau yang berkenaian hubungan
tema tersebut dengan isu-isu yang beredar. Seperti penafsiran kisah Ashabul
Kahfi yang mana diakhir kisahnya beliau paparkan penelitian terbaru tentang
penemuan letak gua yang terdapat di kisah tersebut.
Terlepas dari cara penafsirannya,
latar belakang beliau yang juga sebagai seorang sastrawan terkemuda Indonesia
juga membentuk susunan ejaan bahasa Indonesia zaman dahulu dalam penafsirannya.
Tidak jarang terdapat kata-kata yang melayu kuno yang hampir tidak pernah
terdengar oleh masyarakat modern saat ini akan mengingatkan kekayaan warba
bahasa Indonesia.
Tafsir al Azhar saat ini telah menjadi
satu rujukan utama bagi peminat studi kandungan alquran yang tidak memahami
bahasa Arab. Revisi dan cetakan ulang yang terus dilakukan tidak mengurangi
isinya. Disamping membacanya sebagai salah satu alat pemahaman alquran,
membacanya saat ini akan mengembalikan cita rasa kekayaan bahasa Indonesia
zaman dahulu. Karya monumental ini sangat tidak layak jika hanya diam berdebu
di rak tanpa ada yang datang memetik, membaca dan mengamalkan buah dan isinya.
No comments:
Post a Comment