Wednesday, April 1, 2015

Sekilas Tentang Tafsir Al Azhar

 Alquran sebagai kitab petunjuk bagi umat Islam harus dipahami dengan benar sehingga petunjuk yang didapatkan darinya sesuai dengan yang digariskan. Oleh sebab itu penafsiran terhadap Alquran telah dilakukan oleh mulai dari zaman sahabat sampai sekarang. Berbagai upaya dilakukan untuk mengetahui kandungan-kandungan yang tersimpan di setiap ayatnya.

Alquran yang berbahasa Arab tentunya hanya bisa dipahami dengan kemampuan berbahasa arab. Sedangkan untuk masyarakat  muslim Indonesia tidak banyak yang memilikinya. Maka secara praktis pemahaman mereka terhadap alquran banya bergantung pada terjemahan-terjemahan Alquran yang telah dicetak dan diterbitkan.

Mulai pertengahan abad ke-20, beberapa tafsir Alquran berbahasa Indonesia dirasa mulai dibutuhkan oleh masyarakat mengingat terjemahan Alquran tidak lebih hanya sebagai pembantu pemahaman arti per kata atau kalimat. Sedangkan isu-isu kemasyarakatan terus berkembang dan membutuhkan jawaban. Maka tersusunlah beberapa karya tafsir berbahasa Indonesia di antaranya, Tafsir An Nur karya Dr Hasbi AsSyidqi, Tafsir al Azhar karya Buya Hamka, dan yang paling terbaru Tafsir al Misbah karya Prof Dr Quraisy Shihab. Tafsir-tafsir terbut setidaknya menambahkan kahzanah wawasan Alquran di Indonesia.

Satu kisah yang patut dikenang adalah proses tersusunnya Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka. Beliau menjadi salah satu korban totalitarisme orde lama masa yang mana membuat beliau dijebloskan di penjera karena fitnah yang dibuat-buat. Di balik jeruji besi tersebut beliau mendapat kesempatan untuk melanjutkan lembaran-lembaran yang telah tersesusun sebelumnya mengenai penafsiran alquran. Kepadatan kegiatan dakwah memaksa pecahnya konsenstrasi dalam penuntasan karya tersebut, sehingga kesenggangan waktu di penjara tersebut beliau manfaatkan untuk hal ini.

Dua tahun setengah (1964-1966) adalah masa yang di mana proses cita-cita luhur itu dijalani. Dan setelah beliau dibebaskan, beliau baru mengumpulkan dan mengoreksi kembali hasil dari penafsirannya. Dan akhirnya terbitlah Tafsir AlAzhar cetakan pertama dengan lima belas jilid yang mana setiap jilidnya terkandung dua Juz Alquran.

Metode yang beliau terapkan dalam penafsirannya adalah sebagai mana metode yang diterapakan oleh para Mufassir zaman modern ini yang dengan corak kemasyarakatan (ijtima’i). Adapun cara yang beliau terapkan adalah dengan mengumpulkan beberapa ayat yang mengandung satu tema, kemudian menfsirkannya secara keseluruhan terlebih dahulu setiap ayatnya, dan kemudian baru membeberkan penafsiran yang detail dengan mendalam tentang tema yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Dan terkadang di akhir satu tema terdapat beberapa catatan khusus dari beliau yang berkenaian hubungan tema tersebut dengan isu-isu yang beredar. Seperti penafsiran kisah Ashabul Kahfi yang mana diakhir kisahnya beliau paparkan penelitian terbaru tentang penemuan letak gua yang terdapat di kisah tersebut.

Terlepas dari cara penafsirannya, latar belakang beliau yang juga sebagai seorang sastrawan terkemuda Indonesia juga membentuk susunan ejaan bahasa Indonesia zaman dahulu dalam penafsirannya. Tidak jarang terdapat kata-kata yang melayu kuno yang hampir tidak pernah terdengar oleh masyarakat modern saat ini akan mengingatkan kekayaan warba bahasa Indonesia.

Tafsir al Azhar saat ini telah menjadi satu rujukan utama bagi peminat studi kandungan alquran yang tidak memahami bahasa Arab. Revisi dan cetakan ulang yang terus dilakukan tidak mengurangi isinya. Disamping membacanya sebagai salah satu alat pemahaman alquran, membacanya saat ini akan mengembalikan cita rasa kekayaan bahasa Indonesia zaman dahulu. Karya monumental ini sangat tidak layak jika hanya diam berdebu di rak tanpa ada yang datang memetik, membaca dan mengamalkan buah dan isinya.

No comments:

Post a Comment